KASEPUHAN CIPTA GELAR By:Dwi Lia
EKONOMI MIKRO & MAKRO
Dosen Pengampu : Dharma Setyawan, MA.
KASEPUHAN CIPTA GELAR
Ditulis oleh :
DWI LIA SETIA WATI (1502100038)
S1 PERBANKAN SYARIAH
KELAS C / SEMESTER III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2016
KASEPUHAN CIPTA GELAR
Secara
Admistrasi Kenegaraan, Kasepuhan Cipta Gelar terletak di Sinaresmi, Cisolok,
Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia. Namun secara adat Kasepuhan Cipta Gelar
merupakan Ibu Kota bagi 568 kampung yang dihuni oleh 30.000 jiwa di areal
seluas 5.000 hektare. Kasepuhan Cipta Gelar saat ini dipimpin oleh Ugi Sugriana
Raka Siwi yang akrab disebut Abah Ugi yang berusia 30 th, beliau merupakan anak
dari Abah Anom (pemimpin sebelumnya) yang telah wafat pada tahun 2007, Abah Ugi
menggantikan ayahnya sejak usia 21 th. Untuk memenuhi kebutuhan pangannya
komunitas penganut adat Sunda Wiwitan ini memiliki 8.000 lumbung padi untuk
cadangan selama 3-5 tahun kedepan dengan hanya menanam padi dan memanennya 1
kali dalam setahun. Dalam film dokumenter Kasepuhan Cipta Gelar menayangkan
bagaimana system pertanian dan tekhnologi di dalam Kasepuhan Cipta Gelar.
Kasepuhan
Cipta Gelar untuk memenuhi kebutuhan pangannya melakukan cara atau sistem
pertanian yang hanya menanam padi setahun sekali dengan tanam secara serentak
dan tanpa menggunakan mekanisme pertanian yang modern, jadi masyarakat Cipta
Gelar menanam dan memanen padi sesuai dengan cara yang tradisional secara turun
temurun. Mereka tidak menggunakan traktor, gilingan padi, ataupun pestisida
maupun pupuk kimia. Untuk jenis padi yang ditanampun hanya jenis padi dari
leluhur bukan padi impor karena jenis padi dari leluhurpun sudah ada 120 jenis
padi dan sudah terbukti dapat memcukupi kebutuhan pangan Kasepuhan Cipta Gelar.
Walaupun hanya sekali panen dalam setahun nyatanya masyarakat Kasepuhan Cipta
Gelar sudah memiliki 8.000 lumbung padi untuk cadangan 30.000 warga Kasepuhan
selama 3 tahun kedepan. Bandingkan dengan kondisi umum di Indonesia, seperti
halnya Bulog yang memiliki 600 gudang beras tetapi cadangan berasnya rata-rata
hanya mampu untuk 8-12 bulan saja, dan bila ada kekurangan Indonesia harus
mengimpor dari Negara lain, padahal pertaniannya digenjot 2 kali panen dalam
setahun dengan mekanisme pertanian yang modern dan pupuk kimia.
Setidaknya
ada 3 faktor yang mempengaruhi atau yang membuat Kasepuhan Cipta Gelar mampu
berswasembada dalam hal pertanian atau pangan. Yang pertama, warga Kasepuhan Cipta Gelar dilarang
menjual beras/padi. Yoyok Yogasmana (juru bicara Kasepuhan Cipta Gelar)
menjelaskan bahwa “ beras/padi itu sendiri merupakan kehidupan, jadi ketika
seseorang menjual beras atau padi itu artinya diibaratkan menjual kehidupannya
sendiri, ketika kehidupannya sudah dijual berarti sama halnya berbicara hidup
yaitu berbicara nyawa. Kalau di Cipta Gelar masuk kedalam klasifikasi dosa
besar. Seseorang yang menjual padi/beras ibarat telah menghilangkan nyawa atau
konotasinya sejajar dengan membunuh, jadi sangat serius”. Untuk memenuhi
kebutuhan yang lai yang harus dibeli dengan uang, warga Cipta Gelar memiliki
sumber-sumber penghasilan yang lain seperti, beternak, berdagang, membuka usaha
atau menjadi pegawai. Yang kedua, warga Kasepuhan Cipta
Gelar menggunakan strategi tanam serentak dengan melihat tanda-tanda astronomi.
Abah Ugi (pemimpin adat) menjelaskan, “kita melihat bintang, ada namanya
bintang kidang dan bintang kerti, kalau bintang sudah lurus dengan kita artinya
kita sudah bisa menanam padi, bintang itu dalam setahun lewatnya 3-4 kali saja.
Dan yang menjadikan hama tidak ada, karena menanam padinya serentak tidak
seperti pada umumnya yang menanamnya bergantian sehingga siklus hama akan
selalu ada. Tetapi karena serentak jadi hamanya sedikit dan hanya sekali waktu
saja”. Yoyok juga mengatakan bahwa tikus bukanlah hama melainkan merupakan
bagian dari kehidupan warga Cipta Gelar maka dari itu kata hama tidak pernah
ada. Yang
ketiga, factor system kepemilikan tanah dan tata ruang di Kasepuhan
Cipta Gelar. Jadi, tanah pertanian tersebut bukan merupakan milik hak pribadi
dan tanpa sertifikat, tanah garapan bisa dipindahtangankan dengan system ganti
rugi antar sesama warga Kasepuhan Cipta
Gelar. Komunalitas ini membuat agenda tanam dapat dilakukan secara serentak dan
efektif meskipun hanya sekali panen dalam setahun.
Kasepuhan
Cipta Gelar ini berada diatas areal 4.906 hektare, secara adat merea membagi
menjadi 3 bagian. Bagian hutan titipan, yang sama sekali tidak boleh di ganggu
atau di manfaatkan, jumlah luasnya 50% dari luas wilayah Kasepuhan. Bagian
hutan tutupan, yang hanya boleh dimanfaatkan secara terbatas seperti
hasil hutan non kayu, jumlah luasnya mencapai 30%. Dan bagian hutan bukaan, yang
meliputi sawah, ladang, dan pemukiman dengan jumlah luasnya mencapai 20%.
Sedangkan bagian untuk sawahnya sendiri tercatat sekitar 559 hektare atau 10%
dari luas wilayah Kasepuhan. Jika dibandingkan dengan rasio sawah dan luas
wilayah di Indonesia, menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) bila seluruh
daatan di Indonesia di gabung maka, luasnya mencapai 180 juta hektare, dari
daratan seluas itu yang digunakan untuk lahan sawah pangan hanya 8,1 juta hektare
atau 5% dari luas daratan Indonesia. Perbedaan antara 10% dengan 5% tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia terlalu sedikit menyediakan lahan untuk persawahan
(menanam padi) yang mayoritas menjadi makanan pokok, sehingga yang seharusnya
dapat mengekspor malah mengimpor dari Negara lain.
Selain
system pertanian secara tradisional turun temurun yang dipertahankan, warga
Kasepuhan juga membiarkan 70% lahannya berupa hutan sehingga mendapatkan
pasokan air yang tidak pernah putus sepanjang tahun. Hal itu dimanfaatkan untuk
menghasilkan listrik dengan dengan membangun turbin pembangkit listrik atau
Mikro Hidro. Pada 11 April 1997 ketika Kasepuhan masih dipimpin oleh Abah Anom
diadakan gotong royong pembangunan turbin pembangkit listrik yang melibatkan
ribuan warga Kasepuhan dengan iring-iringan membawa kabel dan peralatan lainnya
mencapai panjang 2 km dan merupakan gotong royong terbesar selain gotong royong
pembangunan bendungan Paya Raof di Aceh pada 14 Juli 1963. Setahun kemudian
proyrk mikro hidro tersebut mampu memasok 60.000 watt dari sekitar 10 turbin
yang tersebar di berbagai kampong. Kini dari sekitar 6.000 rumah tangga sudah
sekitar 1.500 rumah atau 25% sudah memakai listrik murah mikro hidro. Sedangkan
pada tahun 2011 Abah Ugi mendirikan turbin sendiri di Suka Mulya dengan
kapasitas 9.750 watt yang dibantu oleh yayasan IBK. Adapun generator, panel
instalasi saluran air dan pipa dibantu oleh perusahaan otomotif yang melakukan
sosialisasi di Kasepuhan Cipta Gelar. Mikro hidro tersebut memanfaatkan air
dari sunga Cibalengkok yang mampu menyediakan 200 l/detik. Pembangkit ini mampu
menerangi sekitar 66 rumah warga dengan biaya di bawah Rp 30.000,-/ bulan di
setiap rumah.
Tidak
hanya turbin membangkit listrik, masyarakat Kasepuhan Cipta Gelar pun memiliki
stasiun TV lokal sendiri yang bernama “CIGA TV”. Stasiun tv lokal yang hanya
memanfaatkan tenaga surya dan barang bekas maupun barang sumbangan tersebut
dikelola oleh Yoyok dan beberapa anak muda disekitar, pemancarnya pun dirancang
sendiri oleh Abah Ugi. Jika ada keluhan tidak mendapatkan saluran CIGA TV warga
akan menghubungi Yoyok dan beliau akan mendatangi rumahnya dan membenarkannya.
Abah
Ugi mengatakan “adat istiadat tidak boleh hilang, tetapi tetap tidak meninggalkan
perkembangan tekhnologi. Jadi, jika mengurangi tidak boleh tetapi kalau
menambah tidak apa-apa. Maksudnya adat istiadat dalam pertanian secara
tradisional dan turun temurun memang harus tetap dipertahankan dan tidak akan
merubahnya, tetapi tetap terbuka dengan tekhnologi lain yang dapat dikembangkan
sendiri dan dapat bermanfaat untuk warga Kasepuhan Cipta Gelar. Dan dalam
Kasepuhan Cipta Gelar setidaknya ada 30 acara adat yang berjalan sepanjang
tahun dan tak terputus, hal tersebut tanda makmurnya sebuah peradaban yang
sudah berusia 650 tahun lamanya.
Komentar
Posting Komentar