Analisis Hadist Tentang Etika Penawaran By: Dwi Lia
Nama
: DWI LIA SETIA WATI
NPM
: 1502100038
Prodi/Kelas : S1 PBS / C / IV
HADIST TENTANG ETIKA PENAWARAN
1. Etika Untuk Pembeli
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسُمْ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ
Artinya : “Dari Abu
Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah seorang muslim menawar harga barang yang telah ditawar (dan
disepakati harganya) oleh muslim lainnya." (H.R Bukhori)
Analisis Hadist
Dalam praktek jual beli proses
tawar-menawar memang tidak bisa dihindari dan tidak dilarang, namun dalam
proses penawaran untuk mencapai kesepakatan ada etikanya baik untuk para
pembeli maupun penjual. Menurut saya, di dalam hadist ini ada beberapa kata
kunci, yaitu seorang muslim, menawar, dan muslim lainnya. Dimana dalam hadist
ini disebutkan seorang muslim dilarang menawar barang yang sedang ditawar oleh
muslim lainnya, Rasulullah Saw mengatakan bahwa seorang mukmin itu saudara
mukmin yang lain. Oleh karena itu, seorang mukmin tidak boleh membeli sesuatu
yang masih dalam penawaran saudaranya, karena perbuatan tersebut bisa saja
mendzalimi, merugikan ataupun mengecewakan calon pembeli yang pertama atau
salah satu pihak. Hadist ini secara tidak langsung menganjurkan persaingan
sehat dalam kegiatan jual beli. Dalam penawaran ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh pihak yang melakukan transaksi, yaitu :
a.
Calon
pembeli kedua dilarang
menawar barang yang sedang ditawar oleh pembeli pertama dengan penawaran yang
lebih tinggi.
b.
Calon
pembeli kedua dilarang meminta kepada penjual yang sedang masa khiyar (memilih
untuk diteruskan atau tidak) untuk membatalkan jual beli dengan pembeli pertama
dan memberi janji akan membeli dengan harga yang lebih tinggi.
c.
Calon
pembeli kedua harus menunggu proses tawar-menawar antara calon pembeli pertama
dengan penjual selesai jika ingin menawar barang yang sama, itupun jika barang
tersebut tidak jadi dibeli oleh penawar pertama.
d.
Penjual
tidak boleh menjual atau menawarkan barang yang sedang ditawar oleh calon
pembeli pertama terlebih sudah mencapai kesepakatan harga dengan orang lain
atau calon pembeli lain dengan harga yang lebih tinggi agar mendapat keuntungan
yang lebih tinggi.
Larangan dalam hadist tersebut menunjukan
bahwa dalam transaksi jual beli tidak dibenarkan persaingan tidak sehat antara
para calon pembeli. Karenanya, hal tersebut mendapatkan perhatian yang sangat
serius dari Rasulullah Saw. Pembeli hanya dibolehkan melakukan penawaran
terhadap barang yang tidak sedang ditawar orang lain. Meskipun pembeli sangat
tertarik terhadap barang yang sedang ditawar oleh orang lain tersebut. Larangan
dalam hadist
ini memberikan jaminan kepada pihak yang mungkin dalam posisi tidak menguntungkan (kurang mampu), sehingga pihak yang
kuat sosial
ekonominya tidak berlaku semena-mena terhadap orang yang sosial ekonominya lemah.
2. Etika Untuk Penjual
عن ابن عمر عن النبي-صلى الله
عليه و سلم –قآ ل لايبعْ بعْضُكُمْ على بيْع بعْض ولا
يخْطبْ بعْضُكُمْ على خطْبة بعْض
Artinya : “Dari
Ibnu Umar Rasulullah Saw bersabda : “Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula
seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya.”
Analis Hadist
Larangan menjual di atas jualan saudaranya. Artinya, penjual dilarang
menjual barang yang telah dijualkan oleh penjual pertama kepada pihak pembeli
yang sama. Karena ketika penjual pertama sedang tawar-menawar dengan pembeli
maka penjual lainnya tidak boleh merebut pelanggan atau calon pembeli sebelum
transaksi antara penjual pertama dan pembeli tersebut selesai. Bagi penjual, praktek yang melanggar etika penawaran
tersebut juga dapat berbentuk menawarkan barang dagangannya dengan
harga yang lebih rendah atau
penjual lain menawarkan barang yang
kualitasnya lebih baik dengan harga yang sama kepada calon pembeli yang sedang
tawar menawar atau pada masa khiyar dengan penjual lain. Penawaran tersebut tentu saja untuk mengalihkan calon
pembeli agar lebih memilih dan membeli barang dagangannya dan meninggalkan
tawaran barang dagangan penjual sebelumnya. Cara seperti itu dapat menimbulkan
perselisihan dan permusuhan antar penjual, sehingga dalam hadist ini cara
semacam itu dilarang dan penjual dituntut untuk bersaing secara sehat.
3. Pengecualian
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عن النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
Artinya
: “Dari Ibnu Umar Rasulullah Saw bersabda : “Janganlah seseorang menjual
di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas
khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu.” (H.R. Muslim)
Analisis
Hadist
Dalam
hadist ini ada dua hal: pertama, larangan menjual di atas jualan saudaranya. Artinya, penjual dilarang
menjual barang yang telah dijualkan oleh penjual lain kepada pihak pembeli yang
sama. Ketika pembeli sedang dalam proses tawar menawar dengan penjual pertama,
maka penjual lain tidak boleh menawarkan barang yang sama dengan harga yang
lebih rendah atau menawarkan barang yang kualitasnya lebih baik dengan harga
yang sama agar menarik pembeli tersebut untuk membeli barang dagangannya dan
meninggalkan penjual sebelumnya. Cara seperti itu merupakan cara atau persaingan
yang sangat tidak baik, yang mana jika terjadi persaingan seperti itu akan
memicu adanya pertengkaran atau permusuhan antar sesama penjual. Kecuali
pembeli tersebut telah selesai bertransaksi atau ketika pembeli membatalkan
membeli barang dagangan penjual pertama dan meninggalkan tempat transakti
tersebut, baru kemudian penjual lain dapat menarik atau menawarkan barang
dagangannya walaupun barang tersebut sama dengan penawaran penjual sebelumnya.
Kedua, larangan khitbah (melamar) di atas khitbah pihak lain. Etika penawaran ini
diseiringkan dengan larangan melamar lamaran pihak lain, sampai si pelamar
pertama memutuskan untuk tidak menikahinya. Isi dari larangannya serupa, yaitu
agar pihak yang datangnya belakangan menghargai pilihan dan keputusan pihak
pertama agar terjadi persaingan yang sehat. Dan pihak yang datangnya belakangan
agar tidak menggunakan cara cara yang dilarang untuk merebut atau mendapatkan
apa yang di inginkan. Karena Rasulullah Saw
mengatakan bahwa seorang mukmin itu saudara mukmin yang lain. Oleh karena itu
seorang mukmin tidak boleh membeli sesuatu yang masih dalam penawaran
saudaranya. Kecuali jika keputusan pihak pertama
akan meninggalkan apa yang ditawarnya dan tidak melanjutkan transaksinya, dan
disisi lain pihak penjual serta pembeli pertama mengizinkan hal itu.
Sehingga dalam hadist
ini dijelaskan maksud dari pengecualiannya adalah adanya kebolehan menawar
barang yang tidak jadi dibeli, jika penawar pertama telah meninggalkan lokasi
transaksi atau
telah memberikan izin. Artinya, ketidak bolehan tersebut ditunjukan pada calon
pembeli kedua, ketika melakukan penawaran terhadap suatu barang yang sedang
ditawar oleh calon pembeli pertama. Bentuk penawaran yang dilarang adalah
ketika calon pembeli kedua menyarankan agar penjual membatalkan jual beli yang
sedang dalam masa khiyar, dengan janji ia akan membeli dengan harga yang lebih
tinggi. Larangan penawaran hanya pada saat kedua calon pembeli
dan penjual sedang dalam proses penawaran atau dalam masa khiyar. Larangan ini dapat mengantisipasi
terjadi pertengkaran atau permusuhan antara sesama pembeli.
4. Najsy (Menaikkan Harga Untuk Menipu
Pembeli)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ
Artinya : “Dari Ibnu Umar
RA, bahwa Rasulullah SAW melarang praktik jual beli najsy (yaitu
seseorang bersekongkol dengan penjual atau sengaja melakukan penawaran tinggi
terhadap barang dagangannya, dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain agar
mau membelinya).” (H.R Muslim)
Analisis Hadist
Dalam hadist di atas
melarang jual beli najsy, dimana ketika sedang terjadi proses tawar menawar
antara penjual dan pembeli kemudian datang seorang yang menjadi pembeli dan
menawar barang yang sama dengan meninggikan harga (menawar lebih tinggi) tanpa
berniat membelinya dan hanya sebagai tipudaya agar pembeli pertama tersebut
mengira tawarannya merupakan harga yang standar dan mengira tidak mahal kemudian
menyepakati harga dan segera membelinya. Tujuannya hanya memperdaya si pembeli
dengan tipudaya penawaran tingginya tersebut. Hal ini termasuk dalam bentuk
penipuan, oleh karenanya dilarang.
Dalam kenyataannya
praktik najsy ini biasanya ada kerjasama antara pelaku najsy dengan penjual
yang sengaja memainkan harga di depan pembeli agar dapat meninggikan harga
jual, dan mempengaruhi pembeli untuk membelinya. Dan jika pembeli tersebut
berhasil membeli dengan harga tinggi sehingga penjual mendapat keuntungan
lebih, maka pelaku najsy akan mendapat komisi dari si penjual. Dari konteks
ini, sudah jelas bahwa mempermainkan harga jual dengan cara najsy sangat
dilarang dan berdosa, karena jelas terdapat unsur penipuan sehingga membuat
pembeli menjadi dirugikan.
Dalam Islam sudah di
anjurkan penawaran yang benar adalah dimana barang atau jasa
yang ditawarkan harus transparan dan dirinci spesifikasinya, bagaimana keadaan
barang tersebut, apa kelebihan dan kekurangan barang tersebut. Jangan sampai
penawaran yang di lakukan
merugikan pihak yang mengajukan permintaan. Adapun Rasulullah dalam
melakukan penawaran selalu merinci tentang spesifikasi barang dagangannya,
sampai-sampai harga beli nya pun disebutkan dan menawarkan dengan harga berapa
barang tersebut dibeli dan yang akan diperoleh olehnya. Maka sebaiknya, orang yang tidak berminat membeli dan
tidak tertarik pada suatu barang, janganlah ikut campur dalam proses jual beli.
Biarkan pengunjung atau pembeli yang memiliki minat untuk saling tawar-menawar
sesuai harga yang diinginkan sampai mencapai kesepakatan harga beli.
Kesimpulan
Dalam ke empat hadist di atas mengenai etika
penawaran dapat saya simpulkan bahwa dalam kegiatan transaksi jual beli selalu
ada proses tawar-menawar untuk menemukan kesepakatan harga yang menguntungkan
penjual tetapi tidak menyusahkan atau merugikan pembeli dan tidak mematikan
harga pasaran sesama penjual. Karena pelaku transaksi tersebut memiliki
kepentingan masing-masing, yang mana penjual ingin barang dagangannya laku
terjual dan mendapat keuntungan, dan pembeli ingin mendapatkan barang yang
diinginkan dengan harga yang murah, disitulah terjadi tawar-menawar untuk
mendapatkan kesepakatan harga. Maka dijelaskan pula etika-etika penawaran dalam
jual beli baik antara penjual dengan
pembeli agar mendapat kesepakatan harga, etika penawaran antara pembeli dengan pembeli lainnya agar tidak mendzalimi,
merugikan, menyakiti hati ataupun mengecewakan salah satu pihak yang menginginkan
barang yang sama, dan etika penawaran antara penjual dengan penjual lainnya agar tidak menimbulkan persaingan tidak
sehat. Adapun pengecualian diantara penawaran dan penjualan tersebut agar dapat
dijalankan, namun dengan syarat mendapat izin dari pihak-pihak yang
bersangkutan agar terhindar dari perselisihan antar pihak.
Sedangkan jual beli dengan cara najsy yaitu
meningkatkan harga untuk menipu pembeli dengan cara seseorang
bersekongkol dengan penjual atau sengaja melakukan penawaran tinggi terhadap
barang dagangannya, dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain agar mau
membelinya. Hal tersebut sangat dilarang dalam kegiatan
jual beli dalam islam, karena terdapat unsur penipuan dan merugikan pihak
pembeli yang tertipu dengan harga beli tersebut. Sama saja cara najsy tersebut
merupakan perbuatan maksiat dan berdosa. Sehingga dengan adanya hadist-hadist
di atas agar dapat menjadi landasan dan pengetahuan untuk menjauhi praktik yang
salah. Hadist tersebut sangat jelas menganjurkan kita dalam persaingan yang sehat
tanpa merugikan pikah lain, agar kegiatan jual-beli dan tawar-menawar yang kita
lakukan terhindar dari praktik yang salah dan diberkahi oleh Allah SWT.
Terimakasih :)
Komentar
Posting Komentar