Dasar Al-Hadist Dalam Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Syakk
Dasar Al Hadist terkait Kaidah Kedua ( Keyakinan Tidak Dapat dihilangkan dengan Keraguan )
Dalam kaidah kedua ini yaitu tentang “keyakinan
tidak dapat dihilangkan oleh kebimbangan atau keraguan”. Kaidah ini menegaskan
bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat dipengaruhi oleh
keraguan yang timbul kemudian. Kaidah ini pun di dasari oleh dalil-dalil nash
baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist.
Hadist
yang menjadi dasar kaidah kedua ini, diantaranya seagai berikut :
Pertama, hadist riwayat
Imam Muslim r.a. :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya :
“Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,
"Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan “sesuatu” di dalam perutnya, kemudian ragu apakah
telah keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari
masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(H.R Muslim).
Dalam konteks
ini, keraguan akan keluarnya angin (kentut) yang dapat membatalkan wudhunya
tidak dapat mempengaruhinya sebelum seseorang tersebut mendengar suara angin
dan mencium bau angin (kentut) tersebut. Sehingga status wudhunya tidak berubah
sebelum ada bukti yang merubahnya, maka jika seseorang tersebut sedang dalam
keadaan shalat dan timbul keraguan semacam itu, orang tersebut tidak
diperkenankan untuk membatalkan sholatnya, karena keraguan buang angin tersebut
belum terbukti dengan adanya suara dan bau kentut.
Kedua,
hadist riwayat Bukhari-Muslim
r.a. :
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ
قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ ح وَعَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ
لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami 'Ali berkata, telah
menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami Az
Zuhri dari Sa'id bin Al Musayyab. (dalam jalur lain disebutkan) Telah
menceritakan kepada kami 'Abbad bin Tamim dari Pamannya, bahwa ada
seseorang yang mengadukan keraguannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, bahwa seakan-akan ia mendapatkan sesuatu dalam shalatnya. Beliau lalu
bersabda: "Janganlah kamu pindah atau pergi hingga kamu mendengar suara
atau mencium baunya." (H.R. Bukhari-Muslim).
Dalam hadist kedua ini saling berkaitan dan merupakan lanjutan dari hadist pertama
diatas, serta menjadi penegas dalam masalah keraguan buang angin yang dapat
mempengaruhi status wudhu seseorang yang telah diyakini sebelumnya. Keraguan akan keluarnya angin tidak dapat merubah hukum yang telah
diyakininya, yakni status wudhu yang sebelumnya memang sudah dilakukan dan
sudah suci dalam keadaan shalatnya. Adapun keyakinan yang ada hanya dapat dikalahkan dan
digugurkan oleh keyakinan yang lain, berupa kepastian batalnya shalat yang
disebabkan keluarnya angin (kentut) yang memang bisa dipastikan dengan
mendengar suara atau mencium baunya.
Ketiga,
hadist riwayat Muslim r.a. :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى
مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ
كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا
لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Artinya :
“Dari Abu Said Al Khudri RA, dia
berkata, "Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian
ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? Maka
hendaknya dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpeganglah pada
keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika kenyataannya dia shalat sampai lima
rakaat, maka akan genaplah shalatnya. Namun bila ternyata empat rakaat, maka
dua sujudnya akan membuat malu syaiton.”
Hadist ini
sebenarnya sama dengan dua hadist di atas, hanya saja hadist ini membahas
keraguaan dalam konteks jumlah bilangan rakaat shalat sedangkan dua hadist di
atas membahas keraguan buang angin yang dapat merubah status wudhunya menjadi
batal. Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan rakaat,
maka yang dijadikan pedoman adalah bilangan minimal (terkecil). Karena bilangan
yang terkecil diyakini sudah dilewati atau dilakukan. Sedangkan jika yang
dipilih adalah bilangan yang lebih besar, maka ada kemungkinan akan ada salah
perhitungan. Tetapi jika yang dipilih adalah jumlah minimal sebagai patokannya
untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya lebih tipis. Sehingga, jika
kita sedang sholat dan lupa telah
mencapai bilangan rakaat yang mana, maka kita dianjurkan memilih bilangan
rakaat terkecil dan melanjutkan shalat serta melakukan sujud sahwi dua rakaat
sebelum salam agar menyempurnakan shalat kita.
Keempat,
hadist riwayat al-Tirmidzi r.a. :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ ابْنُ عَثْمَةَ الْبَصْرِيُّ
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ
عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ
فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ
فَإِنْ
لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا
فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَو
أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ
وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Artinya :
“Muhammad
bin Basysyar menceritakan kepada kami, Muhammad bin Khalid bin Atsmah
memberitahukan kepada kami, Ibrahim bin Sa'd memberitahukan kepada kami, dia
mengatakan bahwa Muhammad bin Ishaq menceritakan kepadaku dari Makhul, dari
Kuraib, dari Abbas, dari Abdurrahman bin Auf, ia berkata, "Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, 'Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam shalatnya lalu tidak
mengetahui apakah satu rakaat atau dua rakaat yang telah dikerjakannya, maka anggaplah satu rakaat. Kalau tidak tahu apakah dua atau
tiga rakaat yang telah
dikerjakannya, maka anggaplah dua rakaat. Kalau tidak tahu apakah tiga atau empat rakaat yang telah dilakukannya, maka
anggaplah tiga rakaat, lalu
hendaklah ia sujud sahwi dua kali sebelum salam'. " Shahih: Shahih Abu Daud (1209).
Hadist ini juga memperjelas hadist diatas dan
objek pembahasannya pun sama, yakni mengenai keraguan jumlah bilangan rakaat
yang telah dicapai dalam shalat. Dalam hadist ini, Nabi Saw. Lebih menjelaskan
maksud dari maa istayqana (yang dijadikan pedoman). Apabila ragu antara satu
atau dua, maka yang dipilih adalah satu, demikian pula apabila keraguan yang
terjadi antara dua atau tiga, maka yang dipilih adalah dua dan seterusnya. Artinya
bahwa, apabila terjadi keraguan dalam hal bilangan semisal jumlah rakaat, maka
yang dijadikan pegangan (al-mu’tabar) adalah bilangan yang lebih sedikit.
Karena bilangan yang sedikit tersebut yang sudah diyakini. (Haq, 2017 : 143)
Secara rasional, sebuah
keyakinan tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila dibandingkan dengan gejala
hati yang lain, karena di dalam sebuah keyakinan itu terdapat suatu kepastian
yang tidak dapat dikalahkan oleh keraguan. Qaidah kedua ini yang menjadi
konklusi dari hadist-hadist di atas, dalam prakteknya bisa menyusup kepada
seluruh pembahasan fiqh, meliputi masalah ibadah, muamalah, uqubah dan lainnya.
Oleh karena itu, menurut Imam al-Nawawi “ qaidah ini berlaku menyeluruh pada
semua persoalan fiqh, kecuali beberapa masalah saja. (Abbas, 2004 : 46-47)
Dari semua hadist yang telah disebutkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dari kondisi asal
yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal maka faktor eksternal yang
muncul kemudian tidak akan dapat mepengaruhi status hukum batal itu, sehingga
hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya adalah sah, maka
hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan
yang mampu merubahnya. Dari sinilah terbangun kaidah “al-yaqin la yuzalu bi
al-syak”.
Komentar
Posting Komentar