WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAANNYA
MAKALAH
WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAANNYA
(Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Fiqih Zakat )
Dosen Pengampu :
1. Siti Zulaikha, S. Ag, MH
2. Riyan ErwinHidayat, M. Sy

Disusun Oleh :
Dwi Lia Setia Wati : 1502100038
Kelas : C
Semester :
IV ( empat )
Prodi : S1
Perbankan Syariah
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI ( IAIN )
METRO
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “ Waktu Wajib Zakat dan Pelaksanannya “ tugas dari mata kuliah Fiqih Zakat.
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam segi isi, penulisan,
maupun kata-kata yang digunakan. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Dan kami tetap tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian
tugas makalah ini.
Akhirnya, meskipun dalam
penyusunan makalah ini kami telah mencurahkan seluruh kemampuan, namun kami
sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan data, referensi, dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak guna
perbaikan dimasa mendatang.
Metro, 8 Maret
2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAAN ZAKAT........... 3
1. Waktu Wajib Zakat............................................................................ 3
2. Hawl ( Kepemilikan
Harta yang Mencapai Setahu)........................... 4
3. Harta Yang Tidak
Disyaratkan Hawl................................................. 10
4. Terputusnya Hawl.............................................................................. 13
5. Waktu Pelaksanaan
Zakat.................................................................. 14
6. Takjil (Mempercepat
Pembayaran) Zakat........................................... 16
7. Waktu Pelaksanaan
Zakat Fitrah........................................................ 19
8. Takjil Zakat Fitrah.............................................................................. 21
BAB IIIPENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para fuqaha sepakat bahwa zakat wajib
dikeluarkan segera setelah terpenuhi syarat-syaratnya, baik nisab, hawl, maupun
yang lainnya. Berbicara tentang penunaian zakat, waktu wajib dan pelaksanaan
zakat sangat dibutuhkan agar memudahkan umat Islam dalam mengeluarkan zakat dan
memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim. Terpenuhinya satu tahun (haul) merupakan
syarat yang sangat adil. Seandainya
diwajibkan zakat dalam rentang waktu yang sangat singkat, satu bulan misalnya,
niscaya hal itu sangat memberatkan pemilik harta. Sedangkan jika diwajibkan zakat sekali dalam
seumur hidup, maka hal itu kan sangat memberatkan orang-orang miskin. Oleh karena itu, diwajibkan setiap tahun
adalah syarat yang adil baik bagi pemilik harta ataupun bagi orang-orang yang
membutuhkan. Bagi si pemilik harta
diharamkan menghilangkan status kepemilikan harta yang wajib zakat, dengan
maksud melepaskan diri dari kewajiban zakat secara sengaja.
Maka dari itu pengetahuan akan waktu wajib
zakat dan pelaksanaan zakat sangatlah penting agar dapat memenuhi kewajiban
zakat dengan tepat dan terhindar dari keterlambatan pengeluaran zakat. Sehingga dalam makalah ini, akan membahasa
waktu wajib zakat, hawl, dan pelaksanaan zakat untuk menambah wawasan dan
menjadi acuan bagi pembaca.
B. Rumusan Masalah
a. Kapan waktu wajib zakat ?
b. Apa yang dimaksud hawl ?
c. Kapan waktu pelaksanaan zakat ?
d. Kapan waktu pelaksanaan zakat fitrah ?
C. Tujuan Penulisan
a. Memahami kapan waktu wajib zakat.
b. Mengetahui yang dimaksud hawl.
c. Mengetahui kapan waktu pelaksanaan zakat.
d. Memahami kapan waktu pelaksanaan zakat fitrah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
WAKTU
WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAAN
ZAKAT
1.
Waktu Wajib Zakat
Para fuqaha sepakat bahwa zakat wajib
dikeluarkan segera setelah terpenuhi syarat-syaratnya, baik nisab, hawl, maupun
yang lainnya. Pendapat ini difatwakan oleh mazhab Hanafi. Dengan demikian, barang siapa yang
berkewajiban mengeluarkan zakat dan mampu mengeluarkannya, dia tidak boleh
menangguhkannya. Dia akan berdosa jika
mengakhirkan pengeluaran zakatnya tanpa ada uzur. Lebih dari itu, menurut mazhab Hanafi,
kesaksiannya tidak akan diterima karena zakat merupakan hak yang wajib
diserahkan kepada manusia. Ia mesti dibayarkan dan diperintahkan untuk
diberikan kepada kaum fakir dan yang lainnya dengan segera sebab zakat
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, jika zakat tidak
wajib dikeluarkan dengan segera, maksud pewajiban itu tidak sempurna. [1]
Zakat wajib segera dikeluarkan ketika sudah
terpenuhi syarat-syaratnya. Mengakhirkannya dari waktu wajib adalah haram,
kecuali jika seseorang tidak mungkin membayarnya pada waktu tersebut. Ketika ia mengalami hal tersebut, ia boleh
mengakhirkannya sampai sempat membayarnya. [2]
Seperti dalam hadist :
“Tidaklah zakat itu bercampur dengan harta (selain harta zakat) kecuali
merusaknya. ” (HR. Bazzar, Baihaqi,
Ahmad, Nasa’i, dan Abu Daud).
Zakat hukumnya wajib, dan apabila zakat
tersebut telah memenuhi syarat serta ketentuan-ketentuan lainnya, kemudian yang
berkewajiban mengeluarkan zakat telah mampu, maka waktu wajib zakat itu
disegerakan pelaksanaannya tanpa menangguhkannya atau menundanya. Apabila seseorang mengakhirkan pengeluaran
zakatnya padahal telah mampu, dia akan menanggungnya. Alasannya, karena dia mengakhirkan sesuatu
yang wajib dikeluarkan ketika dia mampu menyegerakannya.
Zakat dikeluarkan setelah dia diwajibkan
dengan adanya hawl, atau harta tersebut harta yang baik (thayyib), atau telah
ada ditangan. Dengan demikian, jika zakat dikeluarkan sebelum waktu
wajibnya tiba, zakat tersebut tidak sahih. Dan mengakhirkan zakat sesudah waktu wajibnya
tiba, padahal ada kemampuan untuk mengeluarkannya secara cepat menjadi sebab
adanya tanggungan. Dan hal itu merupakan
suatu kemaksiatan.
Waktu wajib zakat atau waktu yang khusus ialah sempurnanya
kepemilikan selama setahun (hawl), baik dalam binatang ternak, uang, maupun
barang dagangan, yakni sewaktu dituainya biji-bijian, dipetiknya buah-buahan,
dikumpulkannya madu, atau digalinya barang tambang, yang semuanya wajib
dizakati. Maksud lain dari waktu yang
khusus ialah sewaktu terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada saat
itu diwajibkan zakat fitrah. [3]
2. Hawl ( Kepemilikan Harta yang Mencapai Setahun)
Zakat dikeluarkan setelah diwajibkan dengan
adanya hawl atau kepemilikan hartanya telah mencapai setahun. Dalam hadist Nabi
Saw. :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ
الْحَوْلُ
Diriwayatkan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidak ada zakat pada harta hingga harta
itu berlalu setahun lamanya”. (HR. Abu Daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh
Sunan Abi Daud 1/346).
Demikian pula dalam hadis Nabi Muhammad Saw. Berikut :
لاَزَكاَةَفِي الْمَالِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Artinya :
“Tidak ada zakat dalam suatu harta sampai umur kepemilikannya mencapai setahun”.
Pendapat di atas juga berdasarkan ijma’ para tabi’in dan fuqaha. Tahun yang dihitung adalah tahun qamariyah (Muharram,
Shafar, Rabiu’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadi Akhir, Rajab,
Syaban, Ramadhan, Syawal, Zulqaidah, Zulhijjah), bukan
dengan tahun syamsiyah. Pendapat ini
disepakati.
Mengenai tercapainya masa setahun ini, para
fuqaha memiliki beberapa pendapat yang saling mendekati.
a. Menurut mazhab Hanafi
Nisab disyaratkan harus sempurna antar dua sisi tahun,
baik pada pertengahan tahun tersebut terdapat bulan yang nisab hartanya
sempurna maupun tidak. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki harta yang
telah mencapai nisab pada permulaan tahun, kemudian harta tersebut tetap utuh
sampai berakhirnya tahun tersebut, dia wajib mengeluarkan zakatnya. Dengan
catatan bahwa selama setahun tersebut, harta tersebut tidak mengalami
penyusutan secara penuh, apalagi lenyap semuanya. Zakat juga diwajibkan ketika
harta tersebut berkurang pada pertengahan tahun tetapi kemudian utuh kembali
pada akhir tahun. Atas dasar ini, berkurangnya harta pada pertengahan tahun
tidak berpengaruh jika pada awal dan akhirnya utuh kembali.
Harta yang dimanfaatkan, meskipun berupa hibah atau
warisan pada pertengahan tahun dipandang sebagai harta asli. Ia wajib
dikeluarkan zakatnya karena pemeliharaan terhadap harta yang dimanfaatkan
tersebut dan pencocokan tahunya sulit dilakukan, apalagi jika harta yang telah
mencapai nisab itu berupa beberapa dirham yang setiap harinya diambil satu atau
dua dirham. Pada dasarnya, hawl
disyaratkan sebagai kemudahan untuk orang yang mengeluarkan zakat.
Hawl
dijadikan sebagai syarat dalam zakat, selain zakat tanaman dan buah-buahan. Adapun
untuk kedua hal tersebut, zakatnya diwajibkan pada setiap munculnya buah-buahan
selama aman dari pembusukan dan sudah bisa dimanfaatkan meskipun belum dipanen.
b. Menurut mazhab Maliki
Tibanya
masa setahun menjadi syarat untuk zakat emas, perak, perdagangan, dan binatang
ternak. Tetapi, ia tidak menjadi syarat
untuk zakat barang tambang, barang temuan, harts (tanaman biji-bijian dan
tanaman yang menghasilkan minyak nabati). Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya
disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun tidak mencapai setahun.
Adapun harta yang dimanfaatkan selama perjalanan masa
setahun, padahal harta tersebut berupa hibah, warisan, jual-beli, atau yang
lainnya, maka zakat tidak wajib sampai mencapai masa setahun. Akan tetapi, jika harta yang dimanfaatkan
tersebut menghasilkan laba atau diperdagangkan, harta yang asli yang telah
mencapai setahun itu wajib dizakati, baik harta yang asli tersebut telah
mencapai nisab maupun belum, dan baru mencapai nisab setelah mendapatkan
keuntungan karena keuntungan harta termasuk bagian harta yang asli.
Dengan demikian, jika jumlah nisab emas atau perak
berkurang pada waktu perjalanan setahun, kemudian keduanya mengalami
keuntungan, keduanya wajib dizakati. Kesimpulan yang prinsip dalam hal ini
adalah, menurut mazhab Maliki, bahwa keuntungan yang mencapai masa setahun
berarti harta yang asli itu sendiri yang mencapai masa setahun. Begitu juga
keturunan binatang ternak yang telah mencapai masa setahun berarti
induk-induknya itu sendiri yang mencapai masa setahun.
Untuk zakat binatang ternak, juga disyaratkan agar
binatang tersebut telah berada di tempat pemiliknya. Dengan demikian, jika binatang itu belum ada
di tempat pemiliknya, ia belum wajib mengeluarkan zakat dari binatang tersebut.
c. Menurut mazhab Syafi’i
Seperti halnya mazhab Maliki, sampainya masa setahun
(hawl) menjadi syarat dalam zakat uang, perdagangan dan binatang. Tetapi dia
tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan
barang temuan.
Masa setahun yang sempurna yang berturut-turut juga
menjadi syarat dalam zakat. Dengan demikian, jika harta yang telah mencapai
nisab dan berkurang pada masa perjalanan setahun, kendatipun sebentar, zakat
tidak wajib, kecuali keturunan binatang ternak. Mengenai sampainya masa
setahun, keturunan binatang ternak mengikuti induknya. Begitu juga termasuk
yang dikecualikan ialah laba perdagangan. Laba perdagangan dizakati sesuai
dengan masa setahun penanaman modal yang telah mencapai nisab.
Atas dasar ini, apabila harta yang telah dimiliki itu
berkurang pada masa setahun, baik dengan proses tukar-menukar maupun yang
lainnya, seperti jual-beli dan hibah, maka masa hawlnya dimulai lagi. Apabila harta telah mencapai nisab secara utuh
pada awal hawl, kemudian pada pertengahannya mengalami kekurangan dan setelah
itu baru bisa utuh kembali, zakat tidak wajib, kecuali dengan lewatnya masa
setahun yang sempurna dari hari yang sempurna pula.
Adapun harta yang selama perjalanan hawl dimanfaatkan
dengan diperjual-belikan, hibah, warisan, wakaf, atau pemanfaatan lainnya yang
bukan dari harta itu sendiri, maka baginya berlaku hawl yang baru yang tidak
terikat dengan harta yang asli, yakni sebagaimana yang telah penulis jelaskan
mengenai keturunan binatang ternak atau laba perdagangan. Dengan demikian, untuk harta di atas, hawl-nya
dimulai dari awal karena kepemilikan terhadap harta tersebut mengalami
pembaruan. Dan untuk menghitung hawl, harta tadi tidak boleh digabungkan dengan
harta yang telah dimiliki sebelumnya.
Menghilangkan harta yang wajib dizakati, dengan tujuan
untuk menghindar dari kewajiban zakat, hukumnya makruh. Bahkan, menurut
pendapat yang penganutnya lebih banyak, hukumnya haram sebab tindakan tersebut
berarti melarikan diri dari qurbah.
d. Menurut mazhab Hanbali
Tibanya masa hawl menjadi syarat dalam zakat emas,
perak, binatang ternak, dan barang dagangan, sedangkan dalam zakat harta
selainnya, seperti buah-buahan, tanaman, barang tambang, barang temuan, hawl
tidak menjadi syarat. Menurut pendapat
yang diakui kebenarannya. , sampai nisab harta yang dizakati harus selalu ada
sepanjang satu tahun. Kekurangan yang
sedikit tidak memberikan pengaruh apa pun. Seperti setengah hari atau beberapa jam.
Dengan demikian, seandainya nisab berkurang pada
pertengahan hawl, hawl yang baru wajib dimulai kecuali dalam harta yang berupa
keturunan binatang ternak dan laba perdagangan. Kedua harta yang disebutkan
terakhir ini termasuk harta aslinya karena keturunan binatang ternak mengikuti
induknya dan lahir darinya, dan laba perdagangan bertambah banyak dan berulang
pada beberapa hari dan jam sehingga sulit diketahui, seperti keturunan binatang
ternak. Adakalanya,
keturunan itu lahir tanpa diketahui. Oleh karena itu, kesulitan dalam hal ini
lebih sempurna karena sering terulang.
Adapun harta yang selama hawl yang dimanfaatkan dengan
cara jual beli, hibah, warisan, penyempatan, atau yang lainnya, maka hawl-nya
tidak terikat dengan harta yang asli. Zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali
setelah lewat masa setahun yang sempurna karena harta tersebut jarang dan tidak
berulang. Oleh karena itu, pencocokan hawl tidak akan mengalami kesulitan.
Kendatipun kesulitan itu ada, berada di bawah kesulitan yang terdapat dalam
zakat binatang ternak dan laba perdagangan.
Kesimpulannya ialah bahwa sampainya masa hawl
merupakan syarat yang disepakati. Keturunan binatang ternak, laba, dan
perdagangan dipandang termasuk harta asli yang telah mencapai nisab. Ini pun disepakati. Adapun
harta yang dimanfaatkan selama perjalanan masa hawl, selain harta berupa
keturunan binatang dan laba perdagangan, dipandang termasuk harta asli. Harta
tersebut, menurut mazhab Hanafi, wajib dizakati bersamaan dengan harta yang
asli. Hal ini dimaksudkan sebagai
kemudahan untuk muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan untuk menghindari
kesulitan yang akan timbul darinya, sebab menghitung masa hawl untuk setiap
harta yang dimanfaatkan merupakan kesulitan. Hawl tidak dijadikan sebagai
syarat kecuali untuk kemudahan manusia dalam mengeluarkan zakat.
Jumhur berpendapat bahwa hawl yang baru harus dihitung
untuk setiap harta yang dimanfaatkan karena tindakan seperti ini lebih
menimbulkan keadilan. Lebih-lebih, kepemilikan
terhadap harta itu adalah baru. Dengan
demikian, hawl disyaratkan seperti halnya harta yang dimanfaatkan selain jenis
harta asli yang telah mencapai nisab.[4]
Pendapat
empat mazhab tersebut pada dasarnya memiliki persamaan dan perbedaan
kesepakatan. Persamaan terletak pada kesepakatan bahwa, tibanya masa setahun
(hawl) menjadi syarat untuk zakat emas,
perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak. Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat
buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan. Harta-harta yang disebutkan
terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun
tidak mencapai setahun. Sedangkan perbedaan kesepakatan terdapat pada
pembahasan mengenai penentuan waktu hawl untuk mengeluarkan zakat emas, perak,
uang, perdagangan, dan binatang ternak.
Apabila sabagian barang senisab itu rusak
atau dirusak sebelum genap setahun, maka hitungan hawl-nya gugur. Demikian
menurut Hanafi dan Syafi’i. Sementara itu, Maliki dan Hanbali berpendapat, jika
perusakannya dimaksudkan untuk menhindari kewajiban zakat, maka hitungan
hawl-nya tidak gugur dan tetap wajib dikeluarkan zakatnya kalau sudah genap
satu tahun. Sedangkan harta kekayaan yang dirampas, dihilangkan, dan digelapkan
orang lain, jika dikembalikan dalam jumlah yang sama dan telah genap satu
tahun, menurut Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang paling kuat adalah wajib. Kedua, dalam qaul qadim dimulai lagi
perhitungan hawl sejak barang itu dikembalikan, dan utuk masa yang telah lalu
tidak dikenai zakat. Pendapat kedua ini juga dianut Hanafi beserta para
sahabatnya dan sesuai dengan pendapat Hanbali dalam salah satu riwayatnya.
Menurut Maliki, jika brang itu dikembalikan kepadanya, hendaklah dizakati untuk
satu tahun saja.[5]
3.
Harta Yang
Tidak Disyaratkan Hawl
Ada
harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun , yaitu:
a.
Al-Mu’asyar
yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % pada suatu pertanian yang mendapat
siraman air tanpa menggunakan alat, misalnya kincir air. Atau 5 % untuk pertanian yang mendapatkan
siraman air dengn bantuan alat atau dengan air yang dibeli[6].
Ini zakat pada hasil pertanian dan
perkebunan,
karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ
حَصَادِهِ
Artinya : “Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)”. (al-‘An’am/6:141).
b.
Anak
hewan ternak karena hawl (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti
hitungan hawl
induknya. Anak hewan ternak ini dihitung
dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah
mencapai nishab.
Contohnya: seseorang memiliki 40 ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing kambing
tersebut melahirkan 2 ekor kecuali seekor saja yang melahirkan 3 ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah
121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah
dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.
Contoh lain : seorang memiliki 120
ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing,
namun sebulan sebelum sempurna hawlnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di
akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor
kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.
Apabila
induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan
anak-anaknya sehingga mencapai nisab. Saat mencapai nisab itulah permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor
kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka hawl
kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.
c. Keuntungan
perniagaan dari modal yang telah mencapai nisab dan berlalu satu tahun. Seandainya, seorang memiliki uang mencapai
nisab dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan
keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai
setahun.
Contohnya: seorang memulai bisnis dengan modal
30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nisab untuk harta perniagaan adalah 85
gr emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000.
Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia
mendapat keuntungan Rp 3.000.000, di bulan Shafar Rp 2.000.000, dan seterusnya, sehingga di bulan
Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp 75.000.000. Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 %
dari Rp 75. 000. 000; yaitu Rp 1. 875. 000.
Apabila
modalnya belum mencapai nisab kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nisab,
maka hitungan hawl-nya mulai dihitung sejak nisab sempurna. Jadi
perhitungan akhir tahun perniagaan yang menjadi ukuran sampai atau tidaknya
satu nisab.[7]
d. Rikaz
atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah
atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu
ditemukan, dan zakat rikaz dikeluarkan sebanyak 20%, sebab dalam mendapatkan
harta rikaz tidak seberat atau sesukar mendapatkan barang tambang.[8]
Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ
Artinya: “Pada
harta karun ada zakat seperlima (20 %). (Muttafaqun ‘Alaihi).
Juga karena keberadaannya menyerupai
buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya.
e.
Tambang
(al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain
tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata
(al-yaqut), batu aqiq, aspal, minyak bumi
dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu
dan mencapai nisab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika
mendapatkannya. Tidak dikeluarkan
zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %. Imam al-Khiraqi
menyatakan, “Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas dua puluh mitsqal atau perak sejumlah duaratus
dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya
dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya”.
4. Terputusnya Hawl
Haul terputus atau dianggap gagal
dengan sebab-sebab berikut:
a. Apabila nisab berkurang
ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya,
seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor,
maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nisab dalam setahun adalah
syarat wajib zakat.
b.
Apabila menjual sebagian dari
nishabnya dengan syarat:
1) Pembayarnya
tidak sejenis
2) Bukan
karena takut terkena zakat
3) Harta
tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.
Jika
syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang
memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing
dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan
disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.
c. Apabila harta yang sudah masuk nisab
diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban
zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu
sebelum setahun masa nisab tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul
zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai
pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nisab.
Namun
bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak
terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nisab (85
gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan
berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul
kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan
1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka
tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H. Memang dalam permasalahan pertukaran
harta zakat yang sudah mencapai nisab dengan harta zakat lainnya yang juga
senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama.
5.
Waktu
Pelaksanaan Zakat
Zakat ditunaikan sesuai dengan jenis
harta yang wajib dikeluarkaan zakatnya.
Pertama, zakat harta berupa emas, perak,
barang dagangan, dan binatang ternak yang digembalakan dibayarkan setelah
sempurnanya hawl satu kali dalam setahun.
Kedua, zakat tanaman dan buah-buahan
dibayarkan ketika berulangnya masa panen, kendatipun masa panen tersebut
terjadi berulang kali dalam setahun. Dengan demikian, untuk harta jenis yang kedua
ini tikdak disyaratkan harus mencapai masa hawl. Juga, menurut mazhab Hanafi, harta jenis yang
kedua ini tidak disyaratkan harus mencapai nisab, sedangkan menurut Jumhur,
harta tersebut harus mencapai nisab.
Mengenai waktu wajib dikeluarkannya
sepersepuluh dari tanaman dan buah-buahan terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah dan Zafar berpendapat bahwa zakat
harta tersebut wajib dikeluarkan ketika muncunya buah-buahan dan selamat dari
pembusukan walaupun buah-buahan tersebut belum layak dipanen. Degan catatan, jumlahnya mencapai batas yang
bisa dimanfaatkan. Adapun menurut
al-Dardir al-Maliki , zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah baik,
sudah layak dimakan, dan tidak memerlukan pengairan lagi, tidak dikeringkan,
tidak dipanen, dan tidak dibersihkan. Yang dimaksud dengan buah-buahan yang telah
baik adaah tumbuhnya bunga pada kurma muda dan munculnya rasa manis pada buah
anggur.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah layak dan bijinya telah
padat karena pada saat itu, buah-buahan tersebut telah tumbuh dengan sempurna,
sedangkan sebelumnya ia masih berupa bunga dan bijinya sudah bisa dimakan,
sebelumnya ia masih berupa sayur-mayur lunak. Maksud pewajiban zakat yang telah disebut di
atas tidak berarti bahwa ia ajib dikeluarkan dengan segera seketika. Akan tetapi, maksudnya ialah bahwa hal-hal
yang telah disebutkan di atas merupakan sebab wajib dikeluarkannya kurma,
anggur, dan biji-bijian. Pendapat ini
dikemukakan mengingat bahwa makanan yang dikeringkan, dibersihkann, dipecahkan,
diinjak-injak di bawah, dan keperluan-keperluan yang lainnya tidak termasuk
harta yang wajib dizakati.
Waktu wajib zakat pertanian adalah
ketika sudah layak dipanen menurut kebiasaan, misalnya diketahui dengan
mengerasnya biji-bijian, warna merahnya kurma, dan rasa manisnya buah anggur. Zakat tidak dikeluarkan, kecuali biji telah
dikuliti dan buah (krma dan anggur) telah mengering. Apabila penanam menjual tanamannya setelah
bijibijiannya mengeras dan buah-buahannya masak, zakatnya diwajibkan kepadanya
bukankepada pembelinya karena ketika akad, dialah yang memiliki. [9]
Mazhab Hanbali berpendapat, seperti
halnya mazhab Syafi’i, bahwa zakat wajib dikeluarkan ketika biji-bijian telah
gemuk, jika tanaman itu berupa biji-bijian dan jika tanaman tersebut beruapa buah-buahan
yang wajib dikeluarkan zakatnya, ketika buah-buahan tersebut telah layak
dimakan.
Ketiga, dalam pandangan mazhab Hanafi dan
Hanbali, madu wajib dikeluarkan zakatnya ketika ia telah wajib untuk dizakati. Zakat barang tambang dikeluarkan
ketika harta tersebut dikeluarkandari bumi. Dan zakat fitrah, menurut selain
mazhab Hanafi, dikeluarkan ketika matahari terbenam padamalam Hari Raya Fitri.
Mengenai zakat madu, mayoritas ulama
berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat madu. Syafi’i berkata, “menurut pendapatku, tidak
ada zakat madu karen sunnah-sunnah dan atsar-atsar telah menjelaskan
harta-harta yang wajib dizakati dan tidak ada satu pun madu yang disinggung di
dalamnya. Dengan demikian, madu tidak ada zakatnya”. Namun Hanafiyah
dan Ahmad berpendapatbahwa madu ada zakatnya karena walaupun tidak ada hadist
sahih yang menjelaskan kewajibannya, tapi ada atsar-atsar yang saling
memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Di samping itu, madu berasal dari bunga
pepohonan, dapat ditakar, dan dapat disimpan sehingga ada zakatnya, seperti
zakat biji-bijian dan kurma. [10]
6. Takjil ( Mempercepat Pembayaran ) Zakat
Para ulama sepakat bahwa menyegerakan zakat sebelum
sampainya nisab hukumnya tidak boleh karena pada waktu itu, sebab wajibnya
zakat belum ada. Dengan demikian, menyegerakan zakat hukumnya tidak boleh. Sama
halnya dengan tidak bolehnya membayarkan harga suatu barang sebelum jual beli
terjadi atau sama dengan dilakukannya diyat sebelum terjadinya pembunuhan.[11]
Adapun menyegerakan zakat ketika sebabnya telah ada,
yakni nisab yang sempurna maka ada dua pendapat di kalangan para fuqaha.
Pertama, Jumhur berpendapat bahwa
menyegerakan zakat sebelum tibanya hawl, hukumnya boleh secara tathawwu’.
Dengan catatan, harta yang dizakati telah mencapai nisab. Dibolehkannya hal
inikarena sebab wajibnya zakat telah ada. Lagi pula, hal ini berdasarkan hadist
yang diriwayatkan Ali r.a. Beliau menyatakan bahwa Abbas meminta kepada
Rasulullah Saw. untuk menyegerakan zakat hartanya sebelum saatnya. Lalu
Rasulullah Saw. memberikan keringanan baginya.
Takjil atau mempercepat pembayaran zakat sebelum
waktunya adalah boleh. Termasuk juga membayarnya sebelum satu hawl maupun dua
hawl. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa az-Zuhri memandang boleh takjil zakat
sebelum waktu hawl tiba. Hasan ditanya tentang seseorang yang mengeluarkan
zakat untuk tiga tahun kedepan, apakah ini sudah mencukupinya? Ia menjawab,
“mencukupinya”. Demikian juga pendapat Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Hadi dan
Qasim. Al-Muayyid Billah mengatakan bahwa hal tersebut adalah afdal (lebih
utama).[12]
Diperbolehkan bagi pemilik harta untuk menyegerakan
pembayaran zakat mal yang bersifat hauli (tahunan) sebelum jatuh tempo jika
memang harta tersebut telah mencapai nisab sebelum akhir tahun, misalnya hewan
ternak, mata uang, dan komoditas perdagangan. Disini para ulama tidak
memberikan komentar apa-apa soal barang tambang. Hal ii barangkali karena
pembayaran zakatnya tidak boleh disegerakan, mengingat kewajiban mengeluarkan
zakatnya adalah ketika mendapatkannya, sedangkan menyegerakan zakat buah-buahan
dan biji-bijian hanya diperbolehkan setelah tampak tanda-tanda siap panen dan
tidak boleh sebelum itu.[13]
Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa syarat sahnya
penyegeraan pengeluaran zakat ialah, pemilik harta harus merupakan orang yang
tetap berkewajiban mengeluarkan zakat sampai akhir hawl, atau memasuki bulan
Syawal untuk zakat fitrah. Dan syarat yang lain ialah, orang yang menerima
zakat itu tetap merupakan mustahiqq sampai akhir hawl dan harta yang
disegerakan zakatnya tetap utuh. Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi,
harta yang telah diberikan tersebut harus dikembalikan lagi. Dengan catatan,
orang yang telah menerima harta zakat tersebut mengetahui bahwa harta yang
diterimanya merupakan zakat harta yang disegerakan. Namun, apabila orang yang
membayar zakat tersebut tidak menjelaskan dan orang yang menerima tidak
mengetahui bahwa harta itu adalah zakat yang disegerakan maka ia tidak dapat
diminta kembali, dan harta tersebut menjadi shadaqah tathawwu’ karena kebiasaan
yang berlaku bahwa harta yang dibayarkan kepada orang fakir tidak bisa ditarik
kembali, seolah-olah ia berkata: “Ini adalah zakat mal (harta) saya jika
terpenuhi syaratnya, dan jika tidak, maka anggap saja sedekah sunnah!” Inilah
pendapat yang lebih paling benar.
Apabila pemilik harta atau penerimanya meninggal
sebelum itu, penerimanya murtad, hilang, tidak membutuhkan zakat yang
disegerakan (atau zakat yang lainnya), nisab hartanya berkurang, hartanya
hilang dari kepemilikannya, dan bukan harta perdagangan, zakat tidak boleh
disegerakan. Alasannya, karena pada saat itu zakat tidak wajib.
Jika seseorang menyegerakan pembayaran zakat dan
memberikannya kepada seorang fakir, kemudian orang fakir itu meninggal atau
menjadi kaya bukan karena zakat yang diterimanya, sebelum mencapai hawl, maka
zakat tersebut ditarik kembali. Namun, Hanafi berpendapat bahwa zakat it tidak
perlu diminta kembali.[14]
Kedua, mazhab Zahiri dan Maliki
berpendapat bahwa zakat tidak boleh dikeluarkan sebelum hawl-nya tiba karena merupakan
ibadah yang menyerupai shalat, sehingga ia tidak boleh dikeluarkan sebelum
waktunya. Lagi pula, hawl merupakan salah satu syarat zakat, oleh karena itu,
menyegerakan zakat hukumnya tidak boleh.
Malik, Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri, Dawud, Abu Ubaid bin
Harits, dan Nashir dari kalangan Ahlul Bait berpendapat bahwa takjil zakat
tidak boleh hingga waktu hawl telah dating. Mereka berargumen dengan
hadist-hadist yang mengaitkan kewajiban zakat dengan adanya hawl.
Argument tersebut tidak bertentangan dengan orang yang
berpendapat sahnya takjil zakat karena memang kewajiban zakat berkaitan dengan
hawl, dan hal ini bukan masalah yang dipertentangkan. Masalah yang
dipertentangkan adalah sah atau tidaknya pelaksanaan zakat sebelum hawl.
Ibnu Rusyd berkata, “Akar perselisihan tersebut adalah
perbedaan penilaian apakah zakat itu ibadah atau hak yang wajib diberikan
kepada orang-orang tidak mampu? Orang yang mengatakan bahwa zakat adalah ibadah
dan menyamakan dengan shalat tidak memperbolehkan pengeluran zakat sebelum
waktunya tiba. Adapun orang mengatakan bahwa zakat itu hak orang miskin dan
menyerupakannya dengan hak-hak yang diberikan sebelum waktunya memperbolehkan
pengeluarannya sebelum waktunya tiba layaknya bentuk amal sukarela.
7. Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang secara khusus
diwajibkan pada akhir Ramadhan dan dilaksanakan paling lambat sampai
pelaksanaan shalat Idul Fitri.[15]
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan atas
setiap muslim laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil, tua maupun muda
ketika bulan Ramadhan berakhir. Namun, para ahli fiqih berselisih mengenai
batas waktunya. Tsauri, Ahmad, Ishaq, Syafi’i dalam mazhab jadid-nya, dan Malik
dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa waktu wajib zakat fitrah dimulai dari
tenggelamnya matahari pada malam Idul Fitri karena waktu tersebut adalah waktu
berbuka puasa. Abu Hanifah, Laits, Syafi’i di dalam mazhab qadim-nya, dan
Maliki di dalam riwayatnya yang kedua berpendapat bahwa waktu wajibnya mulai
saat terrbitnya fajar pada hari Idul Fitri.[16]
Faedah perselisihan ini tampak ketika seorang bayi
dilahirkan sebelum fajar hari Idul Fitri dan setelah matahari tenggelam. Apakah
bayi tersebut dikenai zakat fitrah atau tidak? Menurut pendapat pertama, ia
tidak dikenakan zakat fitrah karena ia dilahirkan setelah waktu wajib. Menurut
pendapat kedua, bayi tersebut dikenai zakat fitrah karena lahir sebelum waktu
wajib.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang
diwajibkan dalam membayar zakat fitrah. Hanafi:
Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari pertama bulan
Syawal. Hanbali: Pada waktu
terbenamnya matahari pada malam hari raya Idul Fitri. Maliki dan Syafi’i: berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas.
Namun, menurut qaul jadid dan yang paling kuat dari Syafi’i: pada waktu
terbenamnya matahari.
Para imam mazhab sepakatbahwa zakat fitrah tidak gugur
lantaran diakhirkan sampai keluar waktunya, melainkan menjadi utang baginya
hingga dibayarkan. Mereka juga sepakat tentang tidak bolehnya menunda pembayaran
zakatfitrah hingga lewat hari raya.[17]
Zakat fitrah boleh dikeluarkan di awal malam bulan
Ramadhan, namun penundaannya hingga akhir bulan Ramadhan lebih utama. Dalam hal
ini, ada 5 waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah, yaitu :
a. Waktu boleh, yaitu pada permulaan Ramadhan, mengingat sudah
terpenuhinnya sebab pertama diantara dua sebab diwajibkannya zakat, yaitu
Ramadhan dan Idul Fitri. Oleh karena itu, boleh kiranya mendahulukan salah
satunya atas yang lain, bukan mendahului atas kedua-duanya.
b. Waktu wajib, yaitu akhir Ramdhan dan awal Syawal.
c. Waktu utama, yaitu setelah shalat subuh dan sebelum shalat Idul
Fitri.
d. Waktu makruh, setelah shalat Idul Fitri sebelum terbenamnya matahari.
e. Waktu haram, waktu yang dilarang untuk menunda-nunda pembayaran
zakat fitrah yaitu akhir hari raya Idul Fitri ketika matahari telah terbenam.
Hal itu diharamkan karena tujuan dari zakat fitrah adalah untuk mencukupi
kebutuhan golongan mustahiq zakat pada hari raya Idul Fitri karena merupakan
hari gembia.[18]
8. Takjil Zakat Fitrah
Mayoritas pakar fiqih berpendapat bahwa takjil zakat
fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya adalah boleh. Ibnu Umar r.a.
berkata, “Rasulullah memerintahkan kepada kami agar kami mengeluarkan zakat
fitrah sebelum manusia keluar untuk shalat (Idul Fitri).” Nafi’ berkata,”Ibnu
Umar menunaikan zakat fitrah pada waktu satu atau dua hari sebelum hari raya
Idul Fitri.”
Mereka berselisih mengenai takjil zakat pada waktu
lebih daripada dua hari. Menurut Abu Hanifah, takjil zakat sebelum bulan
Ramadhan adalah boleh. Syafi’i mengatakan takjil zakat boleh dilakukan mulai
pada awal bulan Ramadhan. Menurut Maliki dan mazhab Ahmad yang masyur, takjil
zakat boleh dilakukan pada waktu 1 atau 2 hari sebelum hari Id.
Para ulama sepakat bahwa mengakhirkan zakat fitrah hingga
waktunya habis (setelah shalat Id) tidak menyebabkan gugurnya kewajiban zakat
fitrah. Ia masih tetap menjadi tanggungan orang yang mengakhirkannya sehingga
ia membayarnya walaupun pada akhir umurnya. Mereka telah sepakat bahwa
mengakhirkan zakat fitrah hingga setelah hari Id adalah tidak boleh. Ibnu
Ruslan berkata, “Hal itu adalah haram menurut kesepakatan ulama karena zakat
fitrah adalah kewajiban yang jika diakhirkan dari waktunya menyebabkan dosa,
seperti mengakhirkan shalat dar waktunya.” Barang siapa yang mengeluarkan zakat
fitrah sebelum shalat, apa yang dikeluarkannya itu adalah zakat yang diterima,
dan barang siapa yang mengeluarkannya setelah shalat, apa yang dikeluarkannya
itu adalah sedekah biasa.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zakat
hukumnya wajib, dan apabila zakat tersebut telah memenuhi syarat serta
ketentuan-ketentuan lainnya, kemudian yang berkewajiban mengeluarkan zakat
telah mampu, maka waktu wajib zakat itu disegerakan pelaksanaannya tanpa
menangguhkannya atau menundanya. Apabila
seseorang mengakhirkan pengeluaran zakatnya padahal telah mampu, dia akan
menanggungnya. Alasannya, karena dia
mengakhirkan sesuatu yang wajib dikeluarkan ketika dia mampu menyegerakannya.
Zakat
dikeluarkan setelah diwajibkan dengan adanya hawl atau kepemilikan hartanya
telah mencapai setahun. Dalam hadist Nabi Saw.
:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ
الْحَوْلُ
Diriwayatkan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidak ada zakat pada harta hingga harta
itu berlalu setahun lamanya”. (HR. Abu Daud).
Pendapat empat mazhab mengenai persoalan hawl bahwa,
tibanya masa setahun (hawl) menjadi
syarat untuk zakat emas, perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak. Tetapi dia tidak menjadi
syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan. Harta-harta yang disebutkan
terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun
tidak mencapai setahun.
Empat imam mazhab berbeda
pendapat mengenai waktu yang diwajibkan dalam membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan
ketika terbit fajar pada hari pertama bulan Syawal. Hanbali: Pada waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya Idul
Fitri. Maliki dan Syafi’i:
berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas. Namun, menurut qaul jadid dan
yang paling kuat dari Syafi’i: pada waktu terbenamnya matahari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz Muhammad Azzam
dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta : Amzah, 2009).
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta :
KENCANA, 2010).
Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah Jilid 2, ( Jakarta : PT.
Tinta Abadi Gemilang, 2013).
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru
Algensindo, 2012).
Syaikh al-‘Allamah Muhammad
bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung : HASYIMI, 2015).

[1]
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat
Kajian Berbagai Mazhab, ( Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.
119.
[3] Wahbah
Al-Zuhayly, Zakat Kajian …,hlm. 85.
[5]
Syaikh
al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung : HASYIMI, 2015), hlm.119.
[8] Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta : Amzah, 2009),
hlm. 363.
Komentar
Posting Komentar