WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAANNYA



MAKALAH
WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAANNYA
(Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Zakat )
Dosen Pengampu :
1.      Siti Zulaikha, S. Ag, MH
2.      Riyan ErwinHidayat, M. Sy
Disusun Oleh :

        Dwi Lia Setia Wati    : 1502100038

Kelas : C
Semester : IV ( empat )
Prodi : S1 Perbankan Syariah

FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
 METRO
2017


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Waktu Wajib Zakat dan Pelaksanannya “  tugas dari mata kuliah Fiqih Zakat.
           Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam segi isi, penulisan, maupun kata-kata yang digunakan. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.  Dan kami tetap tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak  yang telah membantu kami dalam penyelesaian tugas makalah ini.
      Akhirnya, meskipun dalam penyusunan makalah ini kami telah mencurahkan seluruh kemampuan, namun kami sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan data, referensi, dan kemampuan penulis.  Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak guna perbaikan dimasa mendatang.

Metro, 8 Maret  2017
                                Penulis


                                               




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii

BAB I  PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang........................................................................................ 1
B.      Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.     Tujuan                                                                                                       2


BAB II PEMBAHASAN
A.    WAKTU WAJIB ZAKAT DAN PELAKSANAAN ZAKAT........... 3
1.      Waktu Wajib Zakat............................................................................ 3
2.      Hawl ( Kepemilikan Harta yang Mencapai Setahu)........................... 4
3.      Harta Yang Tidak Disyaratkan Hawl................................................. 10
4.      Terputusnya Hawl.............................................................................. 13
5.      Waktu Pelaksanaan Zakat.................................................................. 14
6.      Takjil (Mempercepat Pembayaran) Zakat........................................... 16
7.      Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah........................................................ 19
8.      Takjil Zakat Fitrah.............................................................................. 21


BAB IIIPENUTUP
A.    Kesimpulan.............................................................................................. 22     

DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Para fuqaha sepakat bahwa zakat wajib dikeluarkan segera setelah terpenuhi syarat-syaratnya, baik nisab, hawl, maupun yang lainnya. Berbicara tentang penunaian zakat, waktu wajib dan pelaksanaan zakat sangat dibutuhkan agar memudahkan umat Islam dalam mengeluarkan zakat dan memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim.  Terpenuhinya satu tahun (haul) merupakan syarat yang sangat adil.  Seandainya diwajibkan zakat dalam rentang waktu yang sangat singkat, satu bulan misalnya, niscaya hal itu sangat memberatkan pemilik harta.  Sedangkan jika diwajibkan zakat sekali dalam seumur hidup, maka hal itu kan sangat memberatkan orang-orang miskin.  Oleh karena itu, diwajibkan setiap tahun adalah syarat yang adil baik bagi pemilik harta ataupun bagi orang-orang yang membutuhkan.  Bagi si pemilik harta diharamkan menghilangkan status kepemilikan harta yang wajib zakat, dengan maksud melepaskan diri dari kewajiban zakat secara sengaja.

Maka dari itu pengetahuan akan waktu wajib zakat dan pelaksanaan zakat sangatlah penting agar dapat memenuhi kewajiban zakat dengan tepat dan terhindar dari keterlambatan pengeluaran zakat.  Sehingga dalam makalah ini, akan membahasa waktu wajib zakat, hawl, dan pelaksanaan zakat untuk menambah wawasan dan menjadi acuan bagi pembaca.







B.     Rumusan Masalah
a.       Kapan waktu wajib zakat ?
b.      Apa yang dimaksud hawl ?
c.       Kapan waktu pelaksanaan zakat ?
d.      Kapan waktu pelaksanaan zakat fitrah ?


C.    Tujuan Penulisan
a.       Memahami kapan waktu wajib zakat.
b.      Mengetahui yang dimaksud hawl.
c.       Mengetahui kapan waktu pelaksanaan zakat.
d.      Memahami kapan waktu pelaksanaan zakat fitrah.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    WAKTU  WAJIB  ZAKAT DAN  PELAKSANAAN  ZAKAT
1.      Waktu Wajib Zakat
Para fuqaha sepakat bahwa zakat wajib dikeluarkan segera setelah terpenuhi syarat-syaratnya, baik nisab, hawl, maupun yang lainnya. Pendapat ini difatwakan oleh mazhab Hanafi.  Dengan demikian, barang siapa yang berkewajiban mengeluarkan zakat dan mampu mengeluarkannya, dia tidak boleh menangguhkannya.  Dia akan berdosa jika mengakhirkan pengeluaran zakatnya tanpa ada uzur.  Lebih dari itu, menurut mazhab Hanafi, kesaksiannya tidak akan diterima karena zakat merupakan hak yang wajib diserahkan kepada manusia. Ia mesti dibayarkan dan diperintahkan untuk diberikan kepada kaum fakir dan yang lainnya dengan segera sebab zakat dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, jika zakat tidak wajib dikeluarkan dengan segera, maksud pewajiban itu tidak sempurna. [1]
Zakat wajib segera dikeluarkan ketika sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Mengakhirkannya dari waktu wajib adalah haram, kecuali jika seseorang tidak mungkin membayarnya pada waktu tersebut.  Ketika ia mengalami hal tersebut, ia boleh mengakhirkannya sampai sempat membayarnya. [2] Seperti dalam hadist :
“Tidaklah zakat itu bercampur dengan harta (selain harta zakat)  kecuali merusaknya. ” (HR.  Bazzar, Baihaqi, Ahmad, Nasa’i, dan Abu Daud).
Zakat hukumnya wajib, dan apabila zakat tersebut telah memenuhi syarat serta ketentuan-ketentuan lainnya, kemudian yang berkewajiban mengeluarkan zakat telah mampu, maka waktu wajib zakat itu disegerakan pelaksanaannya tanpa menangguhkannya atau menundanya.  Apabila seseorang mengakhirkan pengeluaran zakatnya padahal telah mampu, dia akan menanggungnya.  Alasannya, karena dia mengakhirkan sesuatu yang wajib dikeluarkan ketika dia mampu menyegerakannya.
Zakat dikeluarkan setelah dia diwajibkan dengan adanya hawl, atau harta tersebut harta yang baik (thayyib), atau telah ada ditangan.  Dengan demikian, jika zakat dikeluarkan sebelum waktu wajibnya tiba, zakat tersebut tidak sahih.  Dan mengakhirkan zakat sesudah waktu wajibnya tiba, padahal ada kemampuan untuk mengeluarkannya secara cepat menjadi sebab adanya tanggungan.  Dan hal itu merupakan suatu kemaksiatan.
Waktu wajib zakat atau waktu yang khusus ialah sempurnanya kepemilikan selama setahun (hawl), baik dalam binatang ternak, uang, maupun barang dagangan, yakni sewaktu dituainya biji-bijian, dipetiknya buah-buahan, dikumpulkannya madu, atau digalinya barang tambang, yang semuanya wajib dizakati.  Maksud lain dari waktu yang khusus ialah sewaktu terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada saat itu diwajibkan zakat fitrah. [3]

2.      Hawl ( Kepemilikan Harta yang Mencapai Setahun)
Zakat dikeluarkan setelah diwajibkan dengan adanya hawl atau kepemilikan hartanya telah mencapai setahun. Dalam hadist Nabi Saw.  :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Diriwayatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya”. (HR.  Abu Daud no.  1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346).
Demikian pula dalam hadis Nabi Muhammad Saw.  Berikut :
            لاَزَكاَةَفِي الْمَالِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Artinya : “Tidak ada zakat dalam suatu harta sampai umur kepemilikannya mencapai setahun”.
Pendapat di atas juga berdasarkan ijma’ para tabi’in dan fuqaha.  Tahun yang dihitung adalah tahun qamariyah (Muharram, Shafar, Rabiu’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadi Akhir, Rajab, Syaban, Ramadhan, Syawal, Zulqaidah, Zulhijjah), bukan dengan tahun syamsiyah.  Pendapat ini disepakati.
Mengenai tercapainya masa setahun ini, para fuqaha memiliki beberapa pendapat yang saling mendekati.
a.      Menurut mazhab Hanafi
Nisab disyaratkan harus sempurna antar dua sisi tahun, baik pada pertengahan tahun tersebut terdapat bulan yang nisab hartanya sempurna maupun tidak. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki harta yang telah mencapai nisab pada permulaan tahun, kemudian harta tersebut tetap utuh sampai berakhirnya tahun tersebut, dia wajib mengeluarkan zakatnya. Dengan catatan bahwa selama setahun tersebut, harta tersebut tidak mengalami penyusutan secara penuh, apalagi lenyap semuanya. Zakat juga diwajibkan ketika harta tersebut berkurang pada pertengahan tahun tetapi kemudian utuh kembali pada akhir tahun. Atas dasar ini, berkurangnya harta pada pertengahan tahun tidak berpengaruh jika pada awal dan akhirnya utuh kembali.
Harta yang dimanfaatkan, meskipun berupa hibah atau warisan pada pertengahan tahun dipandang sebagai harta asli. Ia wajib dikeluarkan zakatnya karena pemeliharaan terhadap harta yang dimanfaatkan tersebut dan pencocokan tahunya sulit dilakukan, apalagi jika harta yang telah mencapai nisab itu berupa beberapa dirham yang setiap harinya diambil satu atau dua dirham.  Pada dasarnya, hawl disyaratkan sebagai kemudahan untuk orang yang mengeluarkan zakat.
Hawl dijadikan sebagai syarat dalam zakat, selain zakat tanaman dan buah-buahan. Adapun untuk kedua hal tersebut, zakatnya diwajibkan pada setiap munculnya buah-buahan selama aman dari pembusukan dan sudah bisa dimanfaatkan meskipun belum dipanen.
b.      Menurut mazhab Maliki
Tibanya masa setahun menjadi syarat untuk zakat emas, perak, perdagangan, dan binatang ternak.  Tetapi, ia tidak menjadi syarat untuk zakat barang tambang, barang temuan, harts (tanaman biji-bijian dan tanaman yang menghasilkan minyak nabati).  Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun tidak mencapai setahun.
Adapun harta yang dimanfaatkan selama perjalanan masa setahun, padahal harta tersebut berupa hibah, warisan, jual-beli, atau yang lainnya, maka zakat tidak wajib sampai mencapai masa setahun.  Akan tetapi, jika harta yang dimanfaatkan tersebut menghasilkan laba atau diperdagangkan, harta yang asli yang telah mencapai setahun itu wajib dizakati, baik harta yang asli tersebut telah mencapai nisab maupun belum, dan baru mencapai nisab setelah mendapatkan keuntungan karena keuntungan harta termasuk bagian harta yang asli.
Dengan demikian, jika jumlah nisab emas atau perak berkurang pada waktu perjalanan setahun, kemudian keduanya mengalami keuntungan, keduanya wajib dizakati. Kesimpulan yang prinsip dalam hal ini adalah, menurut mazhab Maliki, bahwa keuntungan yang mencapai masa setahun berarti harta yang asli itu sendiri yang mencapai masa setahun. Begitu juga keturunan binatang ternak yang telah mencapai masa setahun berarti induk-induknya itu sendiri yang mencapai masa setahun.
Untuk zakat binatang ternak, juga disyaratkan agar binatang tersebut telah berada di tempat pemiliknya.  Dengan demikian, jika binatang itu belum ada di tempat pemiliknya, ia belum wajib mengeluarkan zakat dari binatang tersebut.
c.       Menurut mazhab Syafi’i
Seperti halnya mazhab Maliki, sampainya masa setahun (hawl) menjadi syarat dalam zakat uang, perdagangan dan binatang. Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan.
Masa setahun yang sempurna yang berturut-turut juga menjadi syarat dalam zakat. Dengan demikian, jika harta yang telah mencapai nisab dan berkurang pada masa perjalanan setahun, kendatipun sebentar, zakat tidak wajib, kecuali keturunan binatang ternak. Mengenai sampainya masa setahun, keturunan binatang ternak mengikuti induknya. Begitu juga termasuk yang dikecualikan ialah laba perdagangan. Laba perdagangan dizakati sesuai dengan masa setahun penanaman modal yang telah mencapai nisab.
Atas dasar ini, apabila harta yang telah dimiliki itu berkurang pada masa setahun, baik dengan proses tukar-menukar maupun yang lainnya, seperti jual-beli dan hibah, maka masa hawlnya dimulai lagi.  Apabila harta telah mencapai nisab secara utuh pada awal hawl, kemudian pada pertengahannya mengalami kekurangan dan setelah itu baru bisa utuh kembali, zakat tidak wajib, kecuali dengan lewatnya masa setahun yang sempurna dari hari yang sempurna pula.
Adapun harta yang selama perjalanan hawl dimanfaatkan dengan diperjual-belikan, hibah, warisan, wakaf, atau pemanfaatan lainnya yang bukan dari harta itu sendiri, maka baginya berlaku hawl yang baru yang tidak terikat dengan harta yang asli, yakni sebagaimana yang telah penulis jelaskan mengenai keturunan binatang ternak atau laba perdagangan.  Dengan demikian, untuk harta di atas, hawl-nya dimulai dari awal karena kepemilikan terhadap harta tersebut mengalami pembaruan. Dan untuk menghitung hawl, harta tadi tidak boleh digabungkan dengan harta yang telah dimiliki sebelumnya.
Menghilangkan harta yang wajib dizakati, dengan tujuan untuk menghindar dari kewajiban zakat, hukumnya makruh. Bahkan, menurut pendapat yang penganutnya lebih banyak, hukumnya haram sebab tindakan tersebut berarti melarikan diri dari qurbah.
d.      Menurut mazhab Hanbali
Tibanya masa hawl menjadi syarat dalam zakat emas, perak, binatang ternak, dan barang dagangan, sedangkan dalam zakat harta selainnya, seperti buah-buahan, tanaman, barang tambang, barang temuan, hawl tidak menjadi syarat.  Menurut pendapat yang diakui kebenarannya. , sampai nisab harta yang dizakati harus selalu ada sepanjang satu tahun.  Kekurangan yang sedikit tidak memberikan pengaruh apa pun.  Seperti setengah hari atau beberapa jam.
Dengan demikian, seandainya nisab berkurang pada pertengahan hawl, hawl yang baru wajib dimulai kecuali dalam harta yang berupa keturunan binatang ternak dan laba perdagangan.  Kedua harta yang disebutkan terakhir ini termasuk harta aslinya karena keturunan binatang ternak mengikuti induknya dan lahir darinya, dan laba perdagangan bertambah banyak dan berulang pada beberapa hari dan jam sehingga sulit diketahui, seperti keturunan binatang ternak. Adakalanya, keturunan itu lahir tanpa diketahui. Oleh karena itu, kesulitan dalam hal ini lebih sempurna karena sering terulang.
Adapun harta yang selama hawl yang dimanfaatkan dengan cara jual beli, hibah, warisan, penyempatan, atau yang lainnya, maka hawl-nya tidak terikat dengan harta yang asli. Zakatnya tidak wajib dikeluarkan kecuali setelah lewat masa setahun yang sempurna karena harta tersebut jarang dan tidak berulang. Oleh karena itu, pencocokan hawl tidak akan mengalami kesulitan. Kendatipun kesulitan itu ada, berada di bawah kesulitan yang terdapat dalam zakat binatang ternak dan laba perdagangan.
Kesimpulannya ialah bahwa sampainya masa hawl merupakan syarat yang disepakati. Keturunan binatang ternak, laba, dan perdagangan dipandang termasuk harta asli yang telah mencapai nisab.  Ini pun disepakati. Adapun harta yang dimanfaatkan selama perjalanan masa hawl, selain harta berupa keturunan binatang dan laba perdagangan, dipandang termasuk harta asli. Harta tersebut, menurut mazhab Hanafi, wajib dizakati bersamaan dengan harta yang asli.  Hal ini dimaksudkan sebagai kemudahan untuk muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan untuk menghindari kesulitan yang akan timbul darinya, sebab menghitung masa hawl untuk setiap harta yang dimanfaatkan merupakan kesulitan. Hawl tidak dijadikan sebagai syarat kecuali untuk kemudahan manusia dalam mengeluarkan zakat.
Jumhur berpendapat bahwa hawl yang baru harus dihitung untuk setiap harta yang dimanfaatkan karena tindakan seperti ini lebih menimbulkan keadilan.  Lebih-lebih, kepemilikan terhadap harta itu adalah baru.  Dengan demikian, hawl disyaratkan seperti halnya harta yang dimanfaatkan selain jenis harta asli yang telah mencapai nisab.[4]
Pendapat empat mazhab tersebut pada dasarnya memiliki persamaan dan perbedaan kesepakatan. Persamaan terletak pada kesepakatan bahwa, tibanya masa setahun (hawl)  menjadi syarat untuk zakat emas, perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak.  Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan.  Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun tidak mencapai setahun. Sedangkan perbedaan kesepakatan terdapat pada pembahasan mengenai penentuan waktu hawl untuk mengeluarkan zakat emas, perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak.
Apabila sabagian barang senisab itu rusak atau dirusak sebelum genap setahun, maka hitungan hawl-nya gugur. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Sementara itu, Maliki dan Hanbali berpendapat, jika perusakannya dimaksudkan untuk menhindari kewajiban zakat, maka hitungan hawl-nya tidak gugur dan tetap wajib dikeluarkan zakatnya kalau sudah genap satu tahun. Sedangkan harta kekayaan yang dirampas, dihilangkan, dan digelapkan orang lain, jika dikembalikan dalam jumlah yang sama dan telah genap satu tahun, menurut Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang paling kuat adalah wajib. Kedua, dalam qaul qadim dimulai lagi perhitungan hawl sejak barang itu dikembalikan, dan utuk masa yang telah lalu tidak dikenai zakat. Pendapat kedua ini juga dianut Hanafi beserta para sahabatnya dan sesuai dengan pendapat Hanbali dalam salah satu riwayatnya. Menurut Maliki, jika brang itu dikembalikan kepadanya, hendaklah dizakati untuk satu tahun saja.[5]

3.        Harta Yang Tidak Disyaratkan Hawl
Ada harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun , yaitu:
a.            Al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % pada suatu pertanian yang mendapat siraman air tanpa menggunakan alat, misalnya kincir air.  Atau 5 % untuk pertanian yang mendapatkan siraman air dengn bantuan alat atau dengan air yang dibeli[6].  Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan, karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun.  Ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Artinya : “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)”. (al-‘An’am/6:141).
b.           Anak hewan ternak karena hawl (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan hawl induknya.  Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.
Contohnya: seseorang memiliki 40 ekor kambing.  Lalu dalam setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan 2 ekor kecuali seekor saja yang melahirkan 3 ekor.  Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing.  Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.  
Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna hawlnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor.  Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.  
Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nisab.  Saat mencapai nisab itulah permulaan haulnya.  Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka hawl kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.
c.            Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nisab dan berlalu satu tahun.  Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nisab dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan.  Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun.
Contohnya: seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nisab untuk harta perniagaan adalah 85 gr emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000.  Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp 3.000.000, di bulan Shafar Rp 2.000.000, dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp 75.000.000.  Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp 75. 000. 000; yaitu Rp 1. 875. 000.
Apabila modalnya belum mencapai nisab kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nisab, maka hitungan hawl-nya mulai dihitung sejak nisab sempurna. Jadi perhitungan akhir tahun perniagaan yang menjadi ukuran sampai atau tidaknya satu nisab.[7]
d.            Rikaz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan, dan zakat rikaz dikeluarkan sebanyak 20%, sebab dalam mendapatkan harta rikaz tidak seberat atau sesukar mendapatkan barang tambang.[8] Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ
Artinya: “Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). (Muttafaqun ‘Alaihi).
Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah.  Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya.
e.              Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqut), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang.  Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nisab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya.  Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan.  Zakatnya adalah 2,5 %. Imam al-Khiraqi menyatakan, “Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas dua puluh mitsqal atau perak sejumlah duaratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya”.

4.      Terputusnya Hawl
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
a.      Apabila nisab berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nisab dalam setahun adalah syarat wajib zakat.
b.               Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
1)      Pembayarnya tidak sejenis
2)      Bukan karena takut terkena zakat
3)      Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.
c.            Apabila harta yang sudah masuk nisab diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nisab tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nisab.
Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nisab (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H. Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nisab dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama.

5.      Waktu Pelaksanaan Zakat
Zakat ditunaikan sesuai dengan jenis harta yang wajib dikeluarkaan zakatnya.
Pertama, zakat harta berupa emas, perak, barang dagangan, dan binatang ternak yang digembalakan dibayarkan setelah sempurnanya hawl satu kali dalam setahun.
Kedua, zakat tanaman dan buah-buahan dibayarkan ketika berulangnya masa panen, kendatipun masa panen tersebut terjadi berulang kali dalam setahun.  Dengan demikian, untuk harta jenis yang kedua ini tikdak disyaratkan harus mencapai masa hawl.  Juga, menurut mazhab Hanafi, harta jenis yang kedua ini tidak disyaratkan harus mencapai nisab, sedangkan menurut Jumhur, harta tersebut harus mencapai nisab.
Mengenai waktu wajib dikeluarkannya sepersepuluh dari tanaman dan buah-buahan terdapat perbedaan pendapat.  Abu Hanifah dan Zafar berpendapat bahwa zakat harta tersebut wajib dikeluarkan ketika muncunya buah-buahan dan selamat dari pembusukan walaupun buah-buahan tersebut belum layak dipanen.  Degan catatan, jumlahnya mencapai batas yang bisa dimanfaatkan.  Adapun menurut al-Dardir al-Maliki , zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah baik, sudah layak dimakan, dan tidak memerlukan pengairan lagi, tidak dikeringkan, tidak dipanen, dan tidak dibersihkan.  Yang dimaksud dengan buah-buahan yang telah baik adaah tumbuhnya bunga pada kurma muda dan munculnya rasa manis pada buah anggur.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah layak dan bijinya telah padat karena pada saat itu, buah-buahan tersebut telah tumbuh dengan sempurna, sedangkan sebelumnya ia masih berupa bunga dan bijinya sudah bisa dimakan, sebelumnya ia masih berupa sayur-mayur lunak.  Maksud pewajiban zakat yang telah disebut di atas tidak berarti bahwa ia ajib dikeluarkan dengan segera seketika.  Akan tetapi, maksudnya ialah bahwa hal-hal yang telah disebutkan di atas merupakan sebab wajib dikeluarkannya kurma, anggur, dan biji-bijian.  Pendapat ini dikemukakan mengingat bahwa makanan yang dikeringkan, dibersihkann, dipecahkan, diinjak-injak di bawah, dan keperluan-keperluan yang lainnya tidak termasuk harta yang wajib dizakati.
Waktu wajib zakat pertanian adalah ketika sudah layak dipanen menurut kebiasaan, misalnya diketahui dengan mengerasnya biji-bijian, warna merahnya kurma, dan rasa manisnya buah anggur.  Zakat tidak dikeluarkan, kecuali biji telah dikuliti dan buah (krma dan anggur) telah mengering.  Apabila penanam menjual tanamannya setelah bijibijiannya mengeras dan buah-buahannya masak, zakatnya diwajibkan kepadanya bukankepada pembelinya karena ketika akad, dialah yang memiliki. [9]
Mazhab Hanbali berpendapat, seperti halnya mazhab Syafi’i, bahwa zakat wajib dikeluarkan ketika biji-bijian telah gemuk, jika tanaman itu berupa biji-bijian dan jika tanaman tersebut beruapa buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya, ketika buah-buahan tersebut telah layak dimakan.
Ketiga, dalam pandangan mazhab Hanafi dan Hanbali, madu wajib dikeluarkan zakatnya ketika ia telah wajib untuk dizakati. Zakat barang tambang dikeluarkan ketika harta tersebut dikeluarkandari bumi. Dan zakat fitrah, menurut selain mazhab Hanafi, dikeluarkan ketika matahari terbenam padamalam Hari Raya Fitri.
Mengenai zakat madu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat madu.  Syafi’i berkata, “menurut pendapatku, tidak ada zakat madu karen sunnah-sunnah dan atsar-atsar telah menjelaskan harta-harta yang wajib dizakati dan tidak ada satu pun madu yang disinggung di dalamnya. Dengan demikian, madu tidak ada zakatnya”. Namun Hanafiyah dan Ahmad berpendapatbahwa madu ada zakatnya karena walaupun tidak ada hadist sahih yang menjelaskan kewajibannya, tapi ada atsar-atsar yang saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.  Di samping itu, madu berasal dari bunga pepohonan, dapat ditakar, dan dapat disimpan sehingga ada zakatnya, seperti zakat biji-bijian dan kurma. [10]

6.      Takjil ( Mempercepat Pembayaran ) Zakat
Para ulama sepakat bahwa menyegerakan zakat sebelum sampainya nisab hukumnya tidak boleh karena pada waktu itu, sebab wajibnya zakat belum ada. Dengan demikian, menyegerakan zakat hukumnya tidak boleh. Sama halnya dengan tidak bolehnya membayarkan harga suatu barang sebelum jual beli terjadi atau sama dengan dilakukannya diyat sebelum terjadinya pembunuhan.[11]
Adapun menyegerakan zakat ketika sebabnya telah ada, yakni nisab yang sempurna maka ada dua pendapat di kalangan para fuqaha.
Pertama, Jumhur berpendapat bahwa menyegerakan zakat sebelum tibanya hawl, hukumnya boleh secara tathawwu’. Dengan catatan, harta yang dizakati telah mencapai nisab. Dibolehkannya hal inikarena sebab wajibnya zakat telah ada. Lagi pula, hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan Ali r.a. Beliau menyatakan bahwa Abbas meminta kepada Rasulullah Saw. untuk menyegerakan zakat hartanya sebelum saatnya. Lalu Rasulullah Saw. memberikan keringanan baginya.
Takjil atau mempercepat pembayaran zakat sebelum waktunya adalah boleh. Termasuk juga membayarnya sebelum satu hawl maupun dua hawl. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa az-Zuhri memandang boleh takjil zakat sebelum waktu hawl tiba. Hasan ditanya tentang seseorang yang mengeluarkan zakat untuk tiga tahun kedepan, apakah ini sudah mencukupinya? Ia menjawab, “mencukupinya”. Demikian juga pendapat Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Hadi dan Qasim. Al-Muayyid Billah mengatakan bahwa hal tersebut adalah afdal (lebih utama).[12]
Diperbolehkan bagi pemilik harta untuk menyegerakan pembayaran zakat mal yang bersifat hauli (tahunan) sebelum jatuh tempo jika memang harta tersebut telah mencapai nisab sebelum akhir tahun, misalnya hewan ternak, mata uang, dan komoditas perdagangan. Disini para ulama tidak memberikan komentar apa-apa soal barang tambang. Hal ii barangkali karena pembayaran zakatnya tidak boleh disegerakan, mengingat kewajiban mengeluarkan zakatnya adalah ketika mendapatkannya, sedangkan menyegerakan zakat buah-buahan dan biji-bijian hanya diperbolehkan setelah tampak tanda-tanda siap panen dan tidak boleh sebelum itu.[13]
Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa syarat sahnya penyegeraan pengeluaran zakat ialah, pemilik harta harus merupakan orang yang tetap berkewajiban mengeluarkan zakat sampai akhir hawl, atau memasuki bulan Syawal untuk zakat fitrah. Dan syarat yang lain ialah, orang yang menerima zakat itu tetap merupakan mustahiqq sampai akhir hawl dan harta yang disegerakan zakatnya tetap utuh. Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, harta yang telah diberikan tersebut harus dikembalikan lagi. Dengan catatan, orang yang telah menerima harta zakat tersebut mengetahui bahwa harta yang diterimanya merupakan zakat harta yang disegerakan. Namun, apabila orang yang membayar zakat tersebut tidak menjelaskan dan orang yang menerima tidak mengetahui bahwa harta itu adalah zakat yang disegerakan maka ia tidak dapat diminta kembali, dan harta tersebut menjadi shadaqah tathawwu’ karena kebiasaan yang berlaku bahwa harta yang dibayarkan kepada orang fakir tidak bisa ditarik kembali, seolah-olah ia berkata: “Ini adalah zakat mal (harta) saya jika terpenuhi syaratnya, dan jika tidak, maka anggap saja sedekah sunnah!” Inilah pendapat yang lebih paling benar.
Apabila pemilik harta atau penerimanya meninggal sebelum itu, penerimanya murtad, hilang, tidak membutuhkan zakat yang disegerakan (atau zakat yang lainnya), nisab hartanya berkurang, hartanya hilang dari kepemilikannya, dan bukan harta perdagangan, zakat tidak boleh disegerakan. Alasannya, karena pada saat itu zakat tidak wajib.
Jika seseorang menyegerakan pembayaran zakat dan memberikannya kepada seorang fakir, kemudian orang fakir itu meninggal atau menjadi kaya bukan karena zakat yang diterimanya, sebelum mencapai hawl, maka zakat tersebut ditarik kembali. Namun, Hanafi berpendapat bahwa zakat it tidak perlu diminta kembali.[14]
Kedua, mazhab Zahiri dan Maliki berpendapat bahwa zakat tidak boleh dikeluarkan sebelum hawl-nya tiba karena merupakan ibadah yang menyerupai shalat, sehingga ia tidak boleh dikeluarkan sebelum waktunya. Lagi pula, hawl merupakan salah satu syarat zakat, oleh karena itu, menyegerakan zakat hukumnya tidak boleh.
Malik, Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri, Dawud, Abu Ubaid bin Harits, dan Nashir dari kalangan Ahlul Bait berpendapat bahwa takjil zakat tidak boleh hingga waktu hawl telah dating. Mereka berargumen dengan hadist-hadist yang mengaitkan kewajiban zakat dengan adanya hawl.
Argument tersebut tidak bertentangan dengan orang yang berpendapat sahnya takjil zakat karena memang kewajiban zakat berkaitan dengan hawl, dan hal ini bukan masalah yang dipertentangkan. Masalah yang dipertentangkan adalah sah atau tidaknya pelaksanaan zakat sebelum hawl.
Ibnu Rusyd berkata, “Akar perselisihan tersebut adalah perbedaan penilaian apakah zakat itu ibadah atau hak yang wajib diberikan kepada orang-orang tidak mampu? Orang yang mengatakan bahwa zakat adalah ibadah dan menyamakan dengan shalat tidak memperbolehkan pengeluran zakat sebelum waktunya tiba. Adapun orang mengatakan bahwa zakat itu hak orang miskin dan menyerupakannya dengan hak-hak yang diberikan sebelum waktunya memperbolehkan pengeluarannya sebelum waktunya tiba layaknya bentuk amal sukarela.

7.      Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang secara khusus diwajibkan pada akhir Ramadhan dan dilaksanakan paling lambat sampai pelaksanaan shalat Idul Fitri.[15]
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan atas setiap muslim laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil, tua maupun muda ketika bulan Ramadhan berakhir. Namun, para ahli fiqih berselisih mengenai batas waktunya. Tsauri, Ahmad, Ishaq, Syafi’i dalam mazhab jadid-nya, dan Malik dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa waktu wajib zakat fitrah dimulai dari tenggelamnya matahari pada malam Idul Fitri karena waktu tersebut adalah waktu berbuka puasa. Abu Hanifah, Laits, Syafi’i di dalam mazhab qadim-nya, dan Maliki di dalam riwayatnya yang kedua berpendapat bahwa waktu wajibnya mulai saat terrbitnya fajar pada hari Idul Fitri.[16]
Faedah perselisihan ini tampak ketika seorang bayi dilahirkan sebelum fajar hari Idul Fitri dan setelah matahari tenggelam. Apakah bayi tersebut dikenai zakat fitrah atau tidak? Menurut pendapat pertama, ia tidak dikenakan zakat fitrah karena ia dilahirkan setelah waktu wajib. Menurut pendapat kedua, bayi tersebut dikenai zakat fitrah karena lahir sebelum waktu wajib.
Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang diwajibkan dalam membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari pertama bulan Syawal. Hanbali: Pada waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya Idul Fitri. Maliki dan Syafi’i: berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas. Namun, menurut qaul jadid dan yang paling kuat dari Syafi’i: pada waktu terbenamnya matahari.
Para imam mazhab sepakatbahwa zakat fitrah tidak gugur lantaran diakhirkan sampai keluar waktunya, melainkan menjadi utang baginya hingga dibayarkan. Mereka juga sepakat tentang tidak bolehnya menunda pembayaran zakatfitrah hingga lewat hari raya.[17]

Zakat fitrah boleh dikeluarkan di awal malam bulan Ramadhan, namun penundaannya hingga akhir bulan Ramadhan lebih utama. Dalam hal ini, ada 5 waktu untuk mengeluarkan zakat fitrah, yaitu :
a.      Waktu boleh, yaitu pada permulaan Ramadhan, mengingat sudah terpenuhinnya sebab pertama diantara dua sebab diwajibkannya zakat, yaitu Ramadhan dan Idul Fitri. Oleh karena itu, boleh kiranya mendahulukan salah satunya atas yang lain, bukan mendahului atas kedua-duanya.
b.      Waktu wajib, yaitu akhir Ramdhan dan awal Syawal.
c.       Waktu utama, yaitu setelah shalat subuh dan sebelum shalat Idul Fitri.
d.      Waktu makruh, setelah shalat Idul Fitri sebelum terbenamnya matahari.
e.     Waktu haram, waktu yang dilarang untuk menunda-nunda pembayaran zakat fitrah yaitu akhir hari raya Idul Fitri ketika matahari telah terbenam. Hal itu diharamkan karena tujuan dari zakat fitrah adalah untuk mencukupi kebutuhan golongan mustahiq zakat pada hari raya Idul Fitri karena merupakan hari gembia.[18]
8.      Takjil Zakat Fitrah
Mayoritas pakar fiqih berpendapat bahwa takjil zakat fitrah satu atau dua hari sebelum hari raya adalah boleh. Ibnu Umar r.a. berkata, “Rasulullah memerintahkan kepada kami agar kami mengeluarkan zakat fitrah sebelum manusia keluar untuk shalat (Idul Fitri).” Nafi’ berkata,”Ibnu Umar menunaikan zakat fitrah pada waktu satu atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri.”
Mereka berselisih mengenai takjil zakat pada waktu lebih daripada dua hari. Menurut Abu Hanifah, takjil zakat sebelum bulan Ramadhan adalah boleh. Syafi’i mengatakan takjil zakat boleh dilakukan mulai pada awal bulan Ramadhan. Menurut Maliki dan mazhab Ahmad yang masyur, takjil zakat boleh dilakukan pada waktu 1 atau 2 hari sebelum hari Id.
Para ulama sepakat bahwa mengakhirkan zakat fitrah hingga waktunya habis (setelah shalat Id) tidak menyebabkan gugurnya kewajiban zakat fitrah. Ia masih tetap menjadi tanggungan orang yang mengakhirkannya sehingga ia membayarnya walaupun pada akhir umurnya. Mereka telah sepakat bahwa mengakhirkan zakat fitrah hingga setelah hari Id adalah tidak boleh. Ibnu Ruslan berkata, “Hal itu adalah haram menurut kesepakatan ulama karena zakat fitrah adalah kewajiban yang jika diakhirkan dari waktunya menyebabkan dosa, seperti mengakhirkan shalat dar waktunya.” Barang siapa yang mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat, apa yang dikeluarkannya itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang mengeluarkannya setelah shalat, apa yang dikeluarkannya itu adalah sedekah biasa.[19]





BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
        Zakat hukumnya wajib, dan apabila zakat tersebut telah memenuhi syarat serta ketentuan-ketentuan lainnya, kemudian yang berkewajiban mengeluarkan zakat telah mampu, maka waktu wajib zakat itu disegerakan pelaksanaannya tanpa menangguhkannya atau menundanya.  Apabila seseorang mengakhirkan pengeluaran zakatnya padahal telah mampu, dia akan menanggungnya.  Alasannya, karena dia mengakhirkan sesuatu yang wajib dikeluarkan ketika dia mampu menyegerakannya.
        Zakat dikeluarkan setelah diwajibkan dengan adanya hawl atau kepemilikan hartanya telah mencapai setahun. Dalam hadist Nabi Saw.  :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Diriwayatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya”. (HR.  Abu Daud).
        Pendapat empat mazhab mengenai persoalan hawl bahwa, tibanya masa setahun (hawl)  menjadi syarat untuk zakat emas, perak, uang, perdagangan, dan binatang ternak.  Tetapi dia tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan.  Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya disyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun tidak mencapai setahun.
        Empat imam mazhab berbeda pendapat mengenai waktu yang diwajibkan dalam membayar zakat fitrah. Hanafi: Zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari pertama bulan Syawal. Hanbali: Pada waktu terbenamnya matahari pada malam hari raya Idul Fitri. Maliki dan Syafi’i: berpendapat seperti kedua imam mazhab di atas. Namun, menurut qaul jadid dan yang paling kuat dari Syafi’i: pada waktu terbenamnya matahari.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta : Amzah, 2009).

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : KENCANA, 2010).
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, ( Jakarta : PT.  Tinta Abadi Gemilang, 2013).

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012).

Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung : HASYIMI, 2015).
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, ( Bandung : PT.  Remaja Rosdakarya, 2008).


[1] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, ( Bandung : PT.  Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.  119.
[2]  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, ( Jakarta : PT.  Tinta Abadi Gemilang, 2013), hlm.  61.
[3]  Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian …,hlm.  85.
[4]   Ibid,.  hlm.  106-110.
[5]  Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung : HASYIMI, 2015), hlm.119.
[6]   Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm.  84.
[7]   Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012), hlm.197.
[8]  Abdul Aziz Muhammad azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 363.
[9]  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 93.
[10]  Ibid. , hlm.  94.
[11]  Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian …,hlm.  121.
[12]   Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 62.
[13]   Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah. . ., hlm. 388.
[14]   Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab…, hlm.122.
[15]   Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : KENCANA, 2010), hlm.51.
[16]   Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 161.
[17]  Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab…, hlm.139.
[18]   Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah. . ., hlm. 402.
[19]   Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. . . , hlm. 161-162.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEWA MENYEWA (AL-IJARAH) DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Dasar Al-Hadist Dalam Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu Bi Syakk

REKRUTMEN TENAGA KERJA