KONSEP DASAR FIQIH MU’AMALAH
KONSEP DASAR FIQIH MU’AMALAH
A.
PENDAHULUAN
Fiqih sering disebut sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan
manusia, dalam pribahasa Latin dari Cicero diungkapkan :Ubi societas ibi ius, artinya:
dimana ada masyarakat disana ada hukum.
Ungkapan serupa juga ditemui dalam kaidah ushuliyah : ﺗﻐﻴﺮ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺑﺘﻐﻴﺮ ﺍﻷﺯﻣﻨﺔ ﻭﺍﻷﻣﻜﻨﺔ ﻭﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ,
artinya : Dinamika perubahan hukum di tengah masyarakat tidak terlepas dari
dinamika perubaan waktu, tempat dan kondisi sosial masyarakat tersebut.
Realitas masyarakat berkembang terus menerus mulai dari masyarakat purbakala
yang primitif sampai dengan masyarakat yang maju dan moderen saat ini. Kita harus menyadari bahwa fiqih adalah benda
mati tidak berwujud yang menjadi bagian dari karya dan karsa manusia. Artinya,
karena fiqih bukan sumber hidup dan tidak pada posisi untuk mengubah dirinya,
dalam arti apabila fiqih tidak diubah dan dimoderenisasi maka fiqih tidak akan
pernah moderen. Hal ini bermakna bukan hanya
fiqih dalam arti kaidah atau regulasi, melainkan fiqih yang merupakan
derifasi Syari’at Islam dalam tataran hakiki, yaitu fiqih sebagai pandangan
hidup. Syariat Islam yang merupakan
produk prerogatif Allah SWT yang
selanjutnya dikemas dalam bentuk fiqih, diharapkan memberikan kontribusi besar
terhadap politik pembaharuan hukum di muka bumi dan mewarnai positif dalam
setiap kali terjadi reformasi yuridis di negaranegara berpenduduk Islam atau
negara Islam dan bahkan di negara non muslim sekalipun. Harapan besar umat Islam terhadap peranan
fiqih tersebut bukanlah tanpa kendala yang menghadang, karena realitas
masyarakat yang merasa tidak siap dengan tawaran fiqih atau hukum Islami masih
banyak. Mereka berasumsi bahwa fiqih masih dinilai sebagai produk Tuhan yang
menakutkan, padahal fakta dan rumusan normanya tidak demikian. Makalah Fiqih Kontemporer ini menawarkan suatu pemikiran kekinian produk
hukum Islam yang aktual, rasional, dan faktual dan mengeliminer kesan kaku dan
inefisien dalam mencari solusi masalah hukum yang terjadi di tengah masyarakat
serta didahului dengan rintisan fiqih periode Rasulullah, sahabat dan tabi’in.
B.
DEFENISI FIQIH
Fiqih (hukum) merupakan bagian dari unsur ajaran islam sebagai pedoman hidup bagi manusia terutama dalam melaksan akan tugas kekhalifannya di muka bumi. Fiqh islam cenderung berbicara tentang sesuatu yang berhubungan dengan boleh atau tidaknya sesuatu pelaksanaan amaliah, atau dengan kata lain sesuatu yang dikaitkan dengan halal-haram dalam agama islam.
Menurut bahasa (etimologi)
Menurut etimologi (bahasa), fiqih adalah (الفهم) (paham), seperti pernyataan: فقهت الدرس)
) saya paham
pelajaran itu.[1]
Arti ini sesuai dengan arti
fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ي
“Barang siapa yang
dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan
kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
Pengertian fiqih secara etimologis berakar pada
kata kerja yaitu :
فَقَهَ – يُفَقِهُ – فَقْهًا – اَىْ فَهْمَهُ yang
artinya paham, mengerti, pintar dan kepintaran. Menunjukkan kepada
“maksud sesuatu” atau “ilmu pengetahuan”.[2] Fiqih menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Dari aspek kebahasaan, fiqih berarti paham
(pemahaman), Para pakar ‘Ushûl Fiqh lebih cenderung kepada batasan (definisi)
Fiqih yang disebut oleh Imam Syafi’i sebagai : Pengetahuan menyangkut hukum-hukum
syari‘î amali, Yang diperolehkan dengan perantaraan dalîl-dalîl yang bersif terperinci.[3]
Ibnu Manzhur dalam kitabLisan
al’Arab menjelaskan fiqih dari segi bahasa, yaitu : “Fiqih berarti pengetahuan
mengenai sesuatu dan memahaminya. Hal ini umumnya terkait pengetahuan masalah
agama karena keunggulan dan kemuliaannya dari berbagai bidang ilmu... Fiqih
pada dasarnya adalah paham, dikatakan, si fulan diberi fiqih dalam hal agama,
yakni diberi pemahaman mengenai masalah agama.”[4]
Ada
beberapa teks yang menjadi penguat bahwa fiqih berarti pengetahuan atau
pemahaman. Diantara teks yang paling populer mengenai hal ini adalah:
1. Firman
Allah dalam surah At-Taubah ayat 122 :
“Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.”
2. Sabda
Nabi Muhammad Saw. :
“Barang
siapa yang dikehendaki menjadi manusia yang baik, maka Allah akan memberikan
pengetahuan agama kepadanya, sesungguhnya ilmu itu hanya diperoleh melalui
belajar.”
3. Hadist
Rasulullah yang mendoakan Ibnu ‘Abbas :
“Ya
Allah, berikanlah kepadanya (pengetahuan) agama yang mendalam.”
Berdasarkan
paparan diatas, maka dapat di ketahui bahwa kata “al-‘ilm” mempunyai makna yang
lebih lias dari pada kata fiqih, karena kata al-‘ilm lebih umum. Ilmu mencakup
sebagai bidang pengetahuan, tidak hanaya terbatas masalah agama.[5]
Menurut istilah
(terminologi)
Pengertian
fiqih dari segi istilah (terminologi), fiqih umumnya disefenisikan sebagai
“pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang disimpulkan
dari dalilnya yang sudah terpereinci.”
Berdasarkan
defenisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fiqih adaah pengetahuan atau
pemahaman terhadap hukum-hukum syara’ yang sifatnya amaliyah. Pengetahuan
tersebut diperoleh melalui dalil yang sudah terperinci atau yang tidak bersifat
global.[6]
Menurut Agus Supriyanto sebagaimana
dikutip dari M. Ali al-Sayis yang dikenal dengan Fiqih atau Hukum Islam adalah segala
hal yang mengajarkan penyucian jiwa dan pembentukan moral yang dikenal dengan Akhlak
atau Etika Islam, dan segala tuntunan hidup praktis yang mengatur perbuatan manusia
yang menyangkut ibadah (aktivitas ritual) dan muamalah (aktivitas sosial).[7]
Fiqih atau hukum
Islam (Islamic law) merupakan salah satu unsur utama ajaran
Islam. Berbeda dari dua unsur utama ajaran
Islam yang lain yakni akidah dan akhlak,
fiqih menempati posisi
paling sentral karena ia menandai keislaman seseorang secara formal. Ini dikarenakan fiqih berisi ajaran Islam yang bersifat praktis implementatif dan bercorak lahiriah, yang berupa aturan-aturan hidup praktis
yang meliputi aspek
ritual (ibadah) dan aspek sosial (muamalah).[8]
Fiqih atauh ukum Islam, secara luas, mencakup baik hukum moral maupun ketetapan-ketetapan hukum dan perundang-undangan.
Sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa sementara hukum moral diwahyukan dalam wujud teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai kehendaknya, maka adalah tugas kaum muslimin untuk mewujudkannya dalam bentuk ketetapan-ketetapan hukum dalam berbagai konteks:
sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Sebenarnya, sejumlah aturan hukum telah diberikan oleh Al-Qur’an untuk mewujudkan kehendakNya. Ketetapan-ketetapan
Al-Qur’an itu dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yakni ‘halal’ (sesuatu yang dibolehkan) dan
‘haram’ (sesuatu yang dilarang).
Dua kategori ini kemudian dikembangkan menjadi
lima kategori atau
yang dikenal dengan
‘hukum yang lima’ (al-ahkam al-khamsah) :
·
wajib / fardlu (sesuatu perbuatan yang harus dilakukan)
·
mandub / sunah
(perbuatan yang dianjurkan untuk dilakakan)
·
mubah (perbuatan yang
boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan)
·
makruh (perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan)
dan
·
haram (suatu perbuatan yang harus ditinggalkan).
Objek kajian fiqih adalah
perilaku orang mukallaf. Perilaku mencakup perilaku hati, seperti niat,
mencakup perkataan seperti bacaan dan mencakup tindakan. Perilaku mukallaf di
sini bisa berarti perilaku yang berlandaskan syara’ baik berupa kewajiban atau
anjuran untuk melakukan (wajib dan mandub), kewajiban atau anjuran untuk
meninggalkan (haram dan makruh), ataupun yang bersifat pilihan, boleh melakukan
atau meninggalkan (mubah).[9]
C.
DEFENISI MU’AMALAH
Menurut bahasa
(etimologi)
Kata mu’amalah berasal dari bahasa Arab (اﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ)
yang secara etimologi sama dan semakna dengan
al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa
orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Menurut Arwani yang di kutip dari Ali (1996), Adapun
mu’amalah dari kata ‘amala yu’amilu mu’amalatan yang berarti: beraksi, bekerja,
berproduksi, namun biasanya dengan kaitan hukumnya kata “mu’amalah”
disandingkan dengan kata “fiqih” yang secara bahasa berarti “pemahaman”.[10]
Sedangkan fiqih mu’amalah secara terminologi didefinisikan sebagai hukum-hukum
yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya,
dalam persoalan jual beli, utang piutang,
kerja sama dagang,
perserikatan dalam penggarapan tanah,
dan sewa menyewa.[11]
Mu’amalah dalah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesame
manusia, dan antara manusia dengan alam sekitarnya, tanpa memandang agama atau
asal usul kehidupannya. Aturan agama yang yang mengatur hubungan antar sesame
manusia, dapat kita temukan dalam hukum islam tentang perkawinan, perwalian,
warisan, wasiat, hibah, perdagangan, perburuan, perkoperasian dan lain-lain.[12]
Wujud dinamisme dalam segmen muamalah ini bukannya
bersifat kebetulan tanpa antisipasi syara’. Sebaliknya Syari’ (Pembuat
Syariat/Allah SWT) melalui wahyu-Nya memang sengaja memberikan aturan-aturan
umum berupa teks wahyu yang kebanyakan bersifat mujmal (global). Acuan moral
bagi penerapan fiqih muamalah berupa kaidah-kaidah umum dan universal. Seperti
: bagaimana menegakkan sendi-sendi keadilan di tengah masyarakat, asas
persamaan di depan hukum, menjauhi kedzaliman, pemaksaan, dan lain sebagainya.[13]
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang
mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi
dengan dengan peribadi lain, maupun antar badan hukum, seperti perseroan,
firma, yayasan, negara, dan sebagainya.
Awalnya cakupan muamalah didalam fiqih meliputi permasalahan keluarga, seperti perkawinan
dan perceraian. Akan tetapi setelah terjadi disintegrasi di dunia Islam,
khususnya di zaman Utsmani (Turki Ottoman), terjadi perkembangan pembangian fiqih. Cakupan bidang muamalah dipersempit, sehingga
masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam
pengertian muamalah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya disebut
al-ahwal al-syakhshiyah (masalah peribadi). Muamalah kemudian difahami sebagai
hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyangkut
harta dan hak serta penyelesaian kasus di antara mereka. Pengertian ini
memberikan gambaran bahwa muamalah hanya mengatur permasalahan hak dan harta
yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain, atau antara
seseorang dengan badan hukum, atau antara badan hukum dengan badan hukum yang
lain.[14]
Mu’amalah merupakan aktivitas yang lebih pada
tatanan hubungan manusia dengan manusia lainnya yang berbeda dengan ibadah
mahdah yang merupakan hubungan vertikal murni antara manusia dengan Allah.
Mu’amalah sebagai aktivitas sosial lebih longgar untuk dikembangkan melalui
inovasi transaksi dan produk , maka wajar bila Al-Syatibi mengatakan:
“Mu’amalah berarti interaksi dan komunikasi antara orang-orang atau antar pihak
dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka beraktualisasi atau dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Mu’amalah yang dimaksud dalam kajian disini adalah
kegiatan manusia yang berkaitan dengan harta dan aktivitas ekonomi atau
bisnisnya yang dilakukan menggunakan akad, baik langsung maupun tidak,seperti
jual-beli, sewa-menyewa gadai, dan seterusnya. Akad-akad seperti ini secara
normatif diatur oleh hukum islam yang disebut dengan fiqih mu’amalah.[15]
Jadi, Fiqih mu’amalah berarti serangkaian aturan
hukum islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar manusia yang berkaitan
dengan harta . Aturan yang mengikat dan mengatur para pihak yang
melaksanakan mu’amalah tertentu.[16]
D.
DEFENISI FIQIH MU’AMALAH KONTEMPORER
Sedikit tetang Fiqih klasik yang teosentris (aliran yang berpegang
kepada teks-teks syari’at secara kaku) tidak bisa menjawab permasalahan hukum
yang timbul di tengah masyarakat, dan
terkesan pasif, kuno, konserfatif dan tidak realistis. Hari ini, masyarakat
berasumsi bahwa fiqih adalah sulit difahami dan dicerna mengingat bahasa yang digunakan
adalah bahasa Arab dan karya fiqih tidak jarang dalam jumlah jilid yang banyak,
menggunakan tata bahasa (uslub) yang tidak sederhana.[17]
Kata kontemporer secara etimologi berarti masa yang sama
atau masa kini.Jadi fiqih mu’amalah kontemporer adalah serangkaian aturan hukum
Islam yang mengatur pola akad atau transaksi antar manusia yang berkaitan
dengan harta yang terjadi pada masa sekarang atau saat ini. Sebagaimana kita
ketahui bahwa pada saat ini aktivitas ekonomi sebagai salah satu aspek terpenting
dalam kehidupan manusia berkembang cukup dinamis dan begitu cepat. Perkembangan
aktivitas ekonomi, khususnya Lembaga Keuangan dengan berbagai variannya melaju
semakin cepat seiring dengan perkembangan zaman. Terelebih dengan perkembangan
alat dan perangkat komunikasi dan informasi yang sedemikian kencang . Hal ini
membuat aktivitas ekonomi semakin variatif dan semakin intens dilakukan .
Kreativitas pengembangan model transaksi dan produk semakin tinggi.
Adapun yang melatarbelakangi munculnya isu Fiqih Kontemporer yaitu akibat
adanya arus modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar negara-negara yang dihuni
oleh mayoritas umat islam. Dengan adanya arus moderenisasi tersebut,
mengakibatkan munculya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat islam,
baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Berbagai
perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama.[18]
Berbagai materi fiqih muamalah
kontemporer dengan sebaran lebih luas mencakup tatanan masyarakat modern,
misalnya : al-ahwal asy-syakhsiyyah (hukum keluarga), al-ahkam al-madaniyyah
(hukum perdata), al-ahkam al-jina’iyyah (hukum pidana), ahkam al-murafa’at
(hukum acara), al-ahkam ad-dusturiyyah (hukum perundang-undangan), dan lain
sebagainya.[19]
Fiqih kontemporer adalah hasil ijtihad terhadap masalah hukum Islam yang
terjadi pada masa kekinian / right now, dengan menggali sumber hukum Islam
berupa Alqur’an dan sunnah dan jurisprudensi ulama terdahulu serta
mengintegrasikan iptek dalam menyimpulkan hasil ijtihad yang berspirit pada kemaslahatan umat manusia
di dunia dan akhirat. [20]
Teks Al-Qur’an tentunya
tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan
dengan konteks perkembangan zaman. Karena perubanhan sosial merupakan suatu
proses kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus, maka perubahan
penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus bersifat kontinu sepanjang
zaman. Dengan demikian islam akan tetap relevan dan aktual, serta mampu
menjawab tantangan modernitas.
Ruang lingkup fiqih kontemporer meliputi aspek
hukum keluarga, aspek ekonomi, aspek pidana, aspek kewanitaan, aspek medis,
aspek teknologi, aspek politik (kenegaraan), dan aspek yang berkaitan dengan
pelaksanaan ibadah.[21]
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yasid, Islam Moderat, (Jakarta: Erlangga, 2014).
Adin, Ahmad, dan Asih,”Fiqih klasik dan kontemporer”, dalam laman http://azyieh.blogspot.co.id/2014/11/fiqh-klasik-dan-kontemporer.html, di unduh pada 26 September 2016.
Agus Arwani, “Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah)”, dalam jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. (125-146).
Agus Supriyanto, “Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih”, dalam jurnal Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010, (1-20).
Fadllan, “GADAISYARIAH; Perspektif Fikih Muamalah dan Aplikasinya dalam Perbankan”, dalam jurnal al-Ihkâm, Vol.1 No.1 Juni 201432 (30-31).
Febby Febiyanti, “Makalah Fiqih Muamalah”, dalam laman http://just-bloggue.blogspot.co.id/2013/07/makalah-fiqih-muamalah.html
Iffatin Nur, Epistemologi Fiqih, (Tulungagung: STAIN Tulungagung Press, 2013).
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2016).
Nizzaruddin, Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Idea Press, 2003).
Nurfaizal, “Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Inplementasinya Dalam Hukum Perbankan Indonesia “, dalam jurnal Hukum Islam, Vol. XIII No. 1 Nopember 2013, (192-205).
Syamsul Hilal ,“Fiqih Dan Permasalahan Kontemporer”, dalam jurnal ASAS Vol. 4, No 1 (2012) Januari 2012 (1-9).
“Makalah Konsep Dasar Fiqih Muamalah” , dalam laman http://syariah99.blogspot.co.id/2013/05/konsep-dasar-fiqh-muamalah.html. Diunduh pada 26 September 2016.
[1]Febby Febiyanti, “Makalah Fiqih Muamalah”,
dalam laman http://just-bloggue.blogspot.co.id/2013/07/makalah-fiqih-muamalah.html.
Diunduh pada 27 September
2016.
[2]“Makalah Konsep Dasar Fiqih Muamalah ”,dalam laman http://syariah99.blogspot.co.id/2013/05/konsep-dasar-fiqh-muamalah.html.
Diunduh pada 26 September 2016.
[4]
Imam
Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2016), h.2.
[7] Muhammad Ali al-Sayis sebagaimana dikutip oleh Agus Supriyanto, “Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih”, dalam jurnal Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010, (1-20),
h.1.
[8]Agus Supriyanto, “Ijtihad: Makna dan Relasi nya dengan Syari’ah,
Fiqih, dan Ushul Fiqih”, dalam jurnal Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010, (1-20),
h.1-2.
[10] Agus Arwani, “Epistemologi
Hukum Ekonomi Islam (Muamalah)”, dalam jurnal RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. (125-146), h. 128.
[11]Fadllan, “GADAISYARIAH; Perspektif Fiqih Muamalah dan Aplikasinya dalam Perbankan”, dalam jurnal al-Ihkâm, Vol.1 No.1 Juni 2014 (30-31), h. 31.
[12] Nizzaruddin, Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Idea Press, 2003), h.3.
[13] Abu
Yasid, Islam Moderat, (Jakarta:
Erlangga, 2014) h. 21.
[14]Nurfaizal, “Prinsip-Prinsip Muamalah
Dan Implementasinya Dalam Hukum Perbankan Indonesia “, dalam jurnal Hukum Islam, Vol. XIII No. 1 Nopember 2013, (192-205), h. 192-193.
[17]
Syamsul Hilal ,“Fiqih
Dan Permasalahan Kontemporer”, dalam
jurnal ASAS Vol 4,
No 1 (2012) Januari 2012 (1-9), h.6.
[18] Adin, Ahmad, dan Asih,”Fiqih klasik dan kontemporer”, dalam laman http://azyieh.blogspot.co.id/2014/11/fiqh-klasik-dan-kontemporer.html, di unduh pada 26 September 2016.
[20] Syamsul Hilal ,“Fiqih Dan Permasalahan Kontemporer”, dalam
jurnal ASAS Vol 4, No 1 (2012) Januari 2012 (1-9), h.8.
[21] Adin, Ahmad, dan Asih,”Fiqih klasik dan kontemporer”, dalam laman http://azyieh.blogspot.co.id/2014/11/fiqh-klasik-dan-kontemporer.html, di unduh pada 26
September 2016.
Komentar
Posting Komentar